- Sejarah Perkembangan Pemikiran
Rasyid Ridha
Nama lengkapnya Muhammad Rasyid bin Ali
Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya
dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir didaerah Qalamun (sebuah desa yang
tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan
dengan tanggal 23 September 1865 M.Dari namananya
jelas bahwa beliau merupakan salah satu keturunan Ahlul-Bait.[1]
Berbeda dengan
anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar
dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki
kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Setelah
menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha
melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah
milik pemerintah di Kota Tripoli.[2]
Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang
didirikan dan diajarkan oleh Syaikh Husain Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan
dan pemikiran keagamaannya telah di pengaruhi oleh ide-ide modernisme. Di sini,
Rasyid Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam.
Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi,ilmu berhitung, dan pengetahuan modern
lain, seperti bahasa Prancis danTurki. Kemudian dia melanjutkan studinya ke
salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah,
tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah
Al-Islamiyyah terus berlanjut.
- Manajemen
sarana dan prasarana madrasah
Syaikh Rasyid Ridha menyebutkan bahwa yang
membuatnya gandrung mempelajari tasawuf
adalah pesona kitabnya Ulumud Ad-Diin karya Imam al-Ghazali. Dia juga
menyebutkan, ada temannya yang bernama Muhammad al-Husaini berhasil menjadi
seorang sufi terselubung dalam tarekat Naqsyabandiyyah. Ia beranggapan dirinya
telah mencapai tingkat mursyid sempurna. Oleh karena itu, rasyid mengikuti
tarekat Naqsyabandiyyah ini melalui bimbingan Muhammad Husaini.[3]
Mengenai hal ini, beliau bertutur, di
sela-sela itu, aku melihat banyak sekali perkara-perkara rohani yang terjadi di
luar kebiasaan, dan banyak kejadian itu, aku berupaya menafsirkannya namun
sebagiannya tak berhasil aku ungkap, akan tetapi buah cita rasa yang tidak
lazim ini tidak sama sekali menunjukkan bahwa seluruh tata cara ini tidak
disyariatkan sebagiannya bernuansa bid·ah atau dibolehkan, sepertinya aku akan
menelitinya kemudian. Rasyid Ridha menyebut kegiatannya menjalani wirid harian
dalam tarekat Naqsyabandiyyah adalah dengan cara mengucapkan nama Al1ah didalam
hati, tanpa ucapan lisan sebanyak 5000 kali seraya membelalakkan kedua mata,
menahan nafas sekuat daya dan mengikat hati dengan hati sang guru.
Di kemudian hari jelas baginya semua itu bid’ah,
ia menyebutkan hal tersebut dapat mencapai kesyirikan terselubung ketika seseorang
mengikat hatinya dengan hati sang guru. Sebab dalam tuntutan tauhid, seorang
hamba di dalam setiap ibadahnya harus menuju Allah semata, dengan lurus total
dan tidak condong serta berserah diri kepada-Nya
dalam agama.Rasyid Ridha mulai mengembangkan gagasan modernisme Islam dikarenakan
oleh pengaruh pemikiran kedua gurunya Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.
Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan
masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain
kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang
berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang
mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan
teknologi. Beliau berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali
ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita
modern. Cita-cita yang ingin diwujudkan Rasyid Ridho saat itu, bukan saja membebaskan
bangsa Arab dari kolonialisme Eropa, lebih dari itu untuk kembali mewujudkan
keagungan peradaban Islam dengan menjadikan tatanan masyarakat Madinah di masa
Nabi Muhammad dan para khalifah yang empat pada abad pertama hijriah sebagai
model dan sumber otoritas.[4]
Tapi dalam perkembangannya, tidak sedikit pun
cita-cita itu terwujud. Padahal dua pioner pemikir modern Islam, Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridho telah membuka jalan bagi terjadinya Islamic Renaissance dengan
mengupayakan penyatuan modernitas Barat dengan tradisi Islam klasik pada fase
kedua kebangkitan Islam Arab yang terjadi antara tahun 1870 hingga 1900 M. Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridho saat itu berupaya menafsirkan ulang Islam agar
senantiasa sesuai dengan kehidupan modern. Peran dan kiprah Muhammad Abduh
dalam mengangkat citra Islam dan kualitas umatnya dari keterpurukan memang tak
kecil. Dialah seorang mujaddid dan mujtahid sekaligus, yang pada masanya bukan
saja mengalami tantangan internal maupun eksternal. Berkat upayanya,meski belum
begitu maksimal, modernisme pemikirannya mulai kelihatan.[5]
- Inovasi
Pendidikan Islam Rasyid Ridha
Setelah melanjutkan studinya ke salah
satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Rasyid Ridha tetap menjalin hubungan
dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah. Gurunya tersebut
telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam
diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat
berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat
Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan
umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang
didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh
penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama didalamnya.
Selain menekuni pelajaran disekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid
Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat
kabar Al-'Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasaArab yang dikelola oleh
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh,dan diterbitkan selama masa
pengasingan mereka di Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal
gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani,
seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang
pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan
dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada
kedua tokoh itu. Beliau benar-benar terpengaruh
oleh keduagurunya tersebut, sehingga akal dan pikirannya berubah bahwa
segalaperbuatan bid·ah harus dihindari, saat berguru pada Muhammad Abduhdan
Al-afghani beliau mengkorelasikan keterkaitan antara ilmu agamadan modern serta
mengupayakan tegaknya persatuan umat dalam upaya menggapai kemenangan.[6]
Keinginan untuk bertemu dengan
Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal
dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid
Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh.Pertemuan
dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam
dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kebodohannya. Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan
yang diperolehnya. Namun upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik
dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan yang
dilontarkannya.[7]
\Akibat semakin besarnya tentangan itu,
akhirnya pada 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad
Abduh, yang telah lama tinggal disana. Di kota ini, Rasyid Ridha langsung
menemui Muhammad Abduhdan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid dan
pengikut setia Abduh. Sejak saat itu, Rasyid Ridha merupakan sosok murid yang
paling dekat dan setia kepada Abduh.Selain kedua
gurunya tersebut, Rasyid Ridho banyak terpengaruhinya oleh beberapa buku karya
Syaikhul Islam, IbnuTaimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Hal itu,
mendongkrak produtivitasnya, setelah sebelumnya tenggelam dalam kubangan kemalasan.
Perbedaan pendapat di
antara murid dan sang guru itu terus berlanjut, bahkan semakin tajam saat
Rasyid berhijrah ke Mesir. Rasyid sangat mengingkari perbuatan para ahli
tarekat Sufi itu. Sebab ia sudah melihat sendiri betapa kemungkaran dan bid·ah
yang terjadi dalam berbagai kegiatan spritual tarekat-tarekat sufi. Setelah
banyak membaca dan mendapatkan ilmu dari bacaannya terhadap buku-buku karya Syaikhul
Islam, lbnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, ditambah buku karya Ibn
Hajar az-Zawaajir An Iqtiraaf a1-Kabaa·ir, Rasyid terus menentang tindakan para penyembah kuburan (Quburiyyun) dari
kalangan aliran tasawuf dan lainnya.[8]
Di samping banyak memperdalam
pengetahuan dan ide pembaharuan, Rasyid Ridha pun mengusulkan kepada sang guru
agar menerbitkan sebuah majalah yang akan menyiarkan ide-ide dan pemikiran mereka.
Kemudian, sang guru dan muridnya ini menerbitkan sebuah majalah yang begitu
terkenal, yaitu majalah Al-Manar Penerbitan majalah ini bertujuan
melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa. Antara lain,
menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi;
memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang
menyimpang; serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai
intervensi dari luar.
Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat
sambutan karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkandalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah Al-Manar , Rasyid Ridha juga masih sangat
aktif menulis dan mengarang berbagai buku dankitab.Rasyid
Ridha pernah sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci
Al-Qur·an dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman. Melalui
kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu
mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh.
Selanjutnya,
catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru
untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksadan mendapat pengesahan, barulah
tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai
tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar
inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran
tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat
125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruhTafsir Al-Manar. Hal ini
dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905,
sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Al Quran.
Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut,
Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sang guru hingga selesai. Ide-ide
pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha, antara lain, Di bidang
agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi
mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa
Rasulullah SAWdan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan
lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan
jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan Sunah.
Ia membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungandengan Allah SWT) dan
masalah muamalah (yang berhubungan denganmanusia).[9]
Menurutnya, masalah yang pertama,
Alquran dan hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi
masyarakat terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya
telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain,namun pelaksanaan
dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal
pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak menyimpang
dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.Inovasi bidang Pendidikan Rasyid Ridha
ialah dalam hal pemikiran modernism pendidikan, arah pembaharuan pemikiran
Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad Abduh.
Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat
Islam akan maju jika menguasai bidang ini.Oleh karenanya, dia banyak mengimbau
dan mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya bagi pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan. Dalam bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan
kurikulum dengan muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya,
ia mendirikan sekolah di Kairo pada 1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa
Al-Irsyad
Dalam bidang kehadirat Allah SWT pada
1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Al Quran. Maka, untuk
melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sang guru
hingga selesai. Ide-ide pembaharuan penting yang dikumandangkan Rasyid Ridha,
antara lain, Di bidang agama, Rasyid Ridha mengatakan bahwa umat Islam lemah
karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti
yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan
ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan
khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju, mereka harus kembali
berpegang kepada Alquran danSunah. Ia membedakan antara masalah peribadatan
(yang berhubungandengan Allah SWT) dan masalah muamalah (yang berhubungan
dengan manusia).
Menurutnya, masalah yang pertama, Alquran
dan hadis harus dilaksanakan serta tidak berubah meskipun situasi masyarakat
terus berubah dan berkembang. Sedangkan untuk hal kedua, dasar dan prinsipnya
telah diberikan, seperti keadilan, persamaan, dan hal lain,namun pelaksanaan
dasar-dasar itu diserahkan kepada manusia untuk menentukan dengan potensi akal
pikiran dan melihat situasi dan kondisi yang dihadapi, sepanjang tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.Inovasi bidang Pendidikan
Rasyid Ridha ialah dalam hal pemikiran modernism pendidikan, arah pembaharuan
pemikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan sang guru, Muhammad
Abduh. Rasyid Ridha berpendapat bahwa umat Islam akan maju jika menguasai
bidang ini.Oleh karenanya, dia banyak mengimbau dan mendorong umat Islam untuk
menggunakan kekayaannya bagi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Dalam
bidang ini, Ridha pun berupaya memajukan ide pengembangan kurikulum dengan
muatan ilmu agama dan umum. Dan sebagai bentuk kepeduliannya, ia mendirikan
sekolah di Kairo pada 1912 yang diberi nama Madrasah Ad-Da'wah wa Al-Irsyad.[10]
Dalam bidang politik, Rasyid Ridha tertarik
dengan ide Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam). Sebab, ia banyak melihat penyebab kemunduran Islam,
antara lain, karena perpecahan yang terjadi di kalangan mereka sendiri. Untuk itu,
dia menyeru umat Islam agar bersatu kembali dibawah satu keyakinan, satu sistem
moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu
kekuasaan yang berbentuk negara. Namun, negara yang diinginkannya bukan seperti
konsep Barat, melainkan negara dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masaAl-Khulafa
ar-Rasyidin.
Pokok-pokok pemikiran inovasi
pendidikan Rasyid Ridha adalah :
a. Umat Islam harus dibimbing kembali
ke jalan yang sebenarnya bersih dari segala macam
bentuk bid’ah, khurafat dan Syirik.
b. Untuk menwujudkan kesatuan dan
persatuan umat Islam janganlah didasarkan pada kesatuan bahasa atau bangsa,
tetapi kesatuan Iman dan Islam.
c. Kaum wanita harus diikutsertakan
dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
d. Sebahagian paham dan ajaran kaum
sufi dianggapnya memperlemah agama Islam karena mereka melalaikan tugas
kewajibannya diatas dunia karena mereka menanamkan paham fasif, pasrah kepada
dunia.Ajaran Islam adalah agama yang penuh dinamika dan optimisme yang
mendorong ummatnya agar aktif mengolah bumi untuk mendapatkan kenikmatan Allah
dan mensyukurinya.[11]
Perhatian Rasyid Ridha dalam bidang pendidikan ini diwujudkan dalam
gerakan rasionalisasi kelembagaan pendidikan Islam sehingga dapat menjawab
tantangan dan kebutuhan zaman yang mendesak.Hal ini membawa pada lahirnya
pandangan progressif yang memandang bahwa sistem pendidikan Islam tidak dapat
lagi bertumpu pada sistem pendidikan tradisional yang terfokus pada pelajaran
agama dan metode hafalan.Bentuk nyata dari pandangan ini adalah pendirian dan
pengembangan madrasah.Pengembangan madrasah itu dapat dilihat dari perkembangan
madrasah di segala tingkatan baik yang berkaitan dengan perbandingan
prosentase, variasi komposisi maupun model pemaduan antara mata pelajaran
agama, umum dan ketrampilan yang pada gilirannya juga memunculkan keberagaman
madrasah itu sendiri.[12]
D. Pengaruh Pemikiran Rasyid Ridha di Indonesia
Di Indonesia, pemikiran
Abduh dan Rasyid Ridha banyak mempengaruhi perjalanan dan patron ormas Islam,
Muhammadiyah, dimana banyak persamaan antara keduanya. Di antara warisan intelektualnya
adalah Risalah Al-Tauhid. Sedangkan Tafsir Al Manar merupakan kumpulan
pidato-pidato, pikiran-pikiran, dan ceramah-ceramahnya yang ditulis oleh muridnya,
syeikh Mohammad Rasyid Ridha. Dari pemikiran yang diusung oleh Muhammad Abduh
telah berimplikasi positif bagi tumbuhnya pembaharuan yang dipelopori oleh KH.M.Dahlan
pendiri organisasi Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau
berketetapan tanggal 18 November 1912 M di Yokyakarta.Sejarawan muslim
Indonesia, Deliar Noor menggolongkan pemikiran Muhammad Abduh telah siap
menjadi penyaring dalam mengadaptasi metode-metode Barat di dalam kultur dan
aktivitas Muhammadiyah.[13]
Bahkan Muhammadiyah tidak
sungkan mengadopsi sistem dan teknik pendidikan modern dengan kurikulum
perpaduan antara subyek agama dengan mata pelajaran umum. Mereka telah melangkah
lebih jauh dengan mendirikan sekolah - sekolah belanda semacam MULO PLUS, HIS
dan AM PLUS pada saat itu. Dalam konteks inilah Muhammadiyah termasuk gerakan
reformis modern dalam tataran praktis
yang terilhami dari ide Muhammad Abduh
dan muridnya Rosyid Ridha. Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup
Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama
Asy-Syaikh 'Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida' Li Al-Jins
Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita),Al-Wahyu Muhammad (Wahyu
Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa UsulAt-T asyri'
Al-'Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umumpenetapan hukum
Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam
besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al- Muqallid (dialog antara kaum pembaharu
dan konservatif), Zikra Al- Maulid An-Nabawiy(Peringatan Kelahiran Nabi
Muhammad SAW), dan Haquq Al-Mar'ah As-Salihah (hak-hak wanita Muslim).[14]
Kesimpulan
- Ridha mulai mengembangkan gagasan modernisme Islam
dikarenakan oleh pengaruh pemikiran kedua gurunya Jamaluddin al-Afghani
dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat
muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan
menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk
mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap
dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya
kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi.
- Perhatian
Rasyid Ridha dalam bidang
pendidikan ini diwujudkan dalam gerakan rasionalisasi kelembagaan
pendidikan Islam sehingga dapat menjawab tantangan dan kebutuhan zaman
yang mendesak.Hal ini membawa pada lahirnya pandangan progressif yang
memandang bahwa sistem pendidikan Islam tidak dapat lagi bertumpu pada
sistem pendidikan tradisional yang terfokus pada pelajaran agama dan
metode hafalan.Bentuk nyata dari pandangan ini adalah pendirian dan
pengembangan madrasah.Pengembangan madrasah itu dapat dilihat dari
perkembangan madrasah di segala tingkatan baik yang berkaitan dengan
perbandingan prosentase, variasi komposisi maupun model pemaduan antara
mata pelajaran agama, umum dan ketrampilan yang pada gilirannya juga
memunculkan keberagaman madrasah itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Sani, Perkembangan
Modern dalam Islam, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1998
Ahmad Sobandi, Islam dan
Tantangan Zaman. Bandung : Pustaka
Hidayah, 1996
Artikulasi Islam Kultural. Jakarta, PT
RajaGrafindoPersada, 2004.
Deliar Noor, Gerakan
Modernis Islam di Indonesia. (Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia, 1996
Gerakan dan Pemikiran Islam
Kontemporer , Jakarta:Paramadina, 2005: 229
Hourani, Albert, alih bahasa,Pemikiran Liberal di Dunia
Arab, (Bandung:Penerbit Mizan 2004:xxii).
Jalaluddin Rahmad, Jejak
Pemimpin Pembaharuan Sampai Guru Bangsa,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001
Lazuardi, dkk, Al Islam Kemuhammadiyahan dan Ibadah
Praktis, Padangsidimpuan : Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, 2010
Maksum, Madrasah (Sejarah dan Perkembangannya),
Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999
Maktabah Al-Anhal Al-Mishriyyah, Kairo-Mesir,1978)
Maryam
Jamilah, Islam dan Modernisme, Surabaya : Usaha Nasional
Mundzier Asuparta, Artikulasi
Islam Kultural. Jakarta :
PT RajaGrafindoPersada, 2004
Mun·im Madjid,T arikh Al-Hadharoh Al-Islamiyyah
fi Al-Ushur Al-Wustho, cet. 4. Kairo : Maktabah
Al-Anhal Al-Mishriyyah, 1978
Murodi, Sejarah Kebuidayaan Islam, Semarang :
PT.Karya Toha Putra, 1994
N.Abbas Wahid dan Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayaan
Islam, Solo : PT.Tiga Serangkai Solo Pustaka Mandiri, 2008
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta:
Bintang Bulan,1994
Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer , Jakarta : Paramadina, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar