RUNNING TEXT

Sabtu, 18 Maret 2017

DAFTAR PENGUJI UJIAN MUNAQASYAH STAI BAHRIYATUL’ULUM KH. ZAINUL ARIFIN PANDAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ANGKATAN I TAHUN AKADEMIK 2016/2017 No Nama Mahasiswa NPM NIRM Judul Skripsi Pembimbing Penguji I II I (Materi) II (Metodologi) III (Keislaman) IV Kependidikan 1 SITI RAIRA SITUMEANG 011.19.08.33 011.19.3.1.38 Pengaruh Keaktifan Belajar Mahasiswa Terhadap Indeks Prestasi Mahasiswa Di Sekolah Tinggi Agama Islam Bahriyatul Ulum Pandan Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun Akademik 2014/2015 Dr. Yusuf Hadijaya, S.Pd., MA H.Ismail, S.Pd., M.MPd Dr. Yusuf Hadijaya, S.Pd., MA Drs.H.Alpian Hutauruk, M.Pd H.Ismail, S.Pd., M.MPd Ali Sutan Lubis, S.Pd. MM 2 ZURAIDAH TAMBUNAN 092146 1930946 Pendidikan Kasih Sayang Orang Tua dan Hubungannya Dengan Pengalaman Shalat Wajib Anak di Kelurahan Lopian II Kecamatan Badiri Kabupaten Tapanuli Tengah Drs.H. Alpian Hutauruk, M.Pd Dra. Halimatussakdiyah, M.Ag Drs.H.Alpian Hutauruk, M.Pd Ali Sutan Lubis, S.Pd. MM Dra.Halimatussakdiyah, M.Ag Dr.Yusuf Hadijaya, S.Pd. MA 3 KHAIRUL MUKMININ 010.2114 010.19.3.1.14 Pendidikan Karakter Untuk Anak dan Hubungannya dengan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Aqidah Akhlak di Madrasah Tsanawiyah Swasta Islamiyah Sibolga Tahun Pelajaran 2015/2016 H.Ismail, S.Pd., M.MPd Rasidin Barasa, MA 4 NUR AIDA LUMBANTOBING 011.19.08.24 011.19.3.1.25 Motivasi Mahasiswa Dalam Menghafal Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Bahriyatul Ulum KH.Zainul Arifin Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Drs.H.Alpian Hutauruk, M.Pd H.Ismail, S.Pd., M.MPd 5 RUDI 011.19.08.20 011.19.3.1.32 Peran Guru Pendidikan Agama Islam Sebagai Tauladan dalam Menanggulangi Kenakalan Siswa di Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun Pelajaran 2015/2016 Drs.H.Alpian Hutauruk, M.Pd Drs.H.Zulbahri, MA 6 7 Pandan, Maret 2017 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua, Sekretaris, Drs.H. ALPIAN HUTAURUK, M.Pd H. ISMAIL, S.Pd., M.MPd DAFTAR PENGUJI UJIAN MUNAQASYAH STAI BAHRIYATUL’ULUM KH. ZAINUL ARIFIN PANDAN PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIA’AH (PBS) ANGKATAN I TAHUN AKADEMIK 2016/2017 No Nama Mahasiswa NPM NIRM Judul Skripsi Pembimbing Penguji I II I (Materi) II (Metodologi) III (Keislaman) IV Kependidikan 1 EPRI SUSANTO 011.19.04.05 011.19.2.4.05 Pengaruh Relationship Manager Dalam Upaya Untuk Menarik Minat Masyarakat Menjadi Nasabah di PT.Bank Muamalat Cabang Pembantu Sibolga H.Ismail, S.Pd., M.MPd Ali Sutan Lubis, S.Pd., MM 2 LASMA SARI ARITONANG 011.19.04.11 011.19.2.4.11 Pengaruh Kualitas Standar Pelayanan Frontliner Terhadap Tingkat Kepuasan Nasabah PT.Bank Sumut Cabang Syariah Sibolga H.Ismail, S.Pd, M.MPd Dr.Yusuf Hadijaya, S.Pd., MA 3 NAHDI EFENDI TUMANGGOR 011.19.04.14 011.19.2.4.14 Pengaruh Bagi Hasil (Profit Sharing) Terhadap Pembiayaan Mudharabah Bank Sumut Cabang Syariah Sibolga H.Ismail, S.Pd., M.MPd Dr.Yusuf Hadijaya, S.Pd., MA 4 SAHMAINI SIMANULLANG 011.19.04.17 011.19.2.4.17 Pengaruh Promosi Terhadap Loyalitas Nasabah pada PT.Bank Syariah Mandiri Cabang Sibolga H.Ismail, S.Pd., M.MPd Dra.Halimatussakdiyah, M.Ag. 5 Pandan, Maret 2017 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua, Sekretaris, Drs.H. ALPIAN HUTAURUK, M.Pd H. ISMAIL, S.Pd., M.MPd

Jumat, 17 Maret 2017

Rasulullah SAW Menjaga Perasaan Istrinya dakwatuna.com – Seketika air mata ini berlinang ketika membaca kisah indah ini. Rasulullah SAW bersama Aisyah RA. Sebagai seorang istri yang sholehah, Aisyah RA selalu menyediakan minum untuk Rasulullah SAW. Biasanya Baginda Nabi hanya minum setengah air dari gelas, karena Aisyah RA sangat suka dan senang minum air sisa dari Rasulullah SAW. Namun pernah suatu ketika Rasulullah SAW baru pulang ke rumah dan langsung meminum habis air yang disediakan Aisyah RA. Seketika rasa bingung, heran, dan sedih menyelimuti diri Aisyah RA, “kenapa Rasulullah SAW tidak menyisakan minum untukku?” Lalu Aisyah RA melihat gelas itu belum dicuci dan masih ada setetes air di dalamnya, maka setetes air tersebut diminum oleh Aisyah RA. Tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba muka Aisyah RA memerah, karena rasa air itu asin. Aisyah salah memasukkan gula, namun malah garam yang masuk dalam air tersebut. Aisyah RA pergi menuju Baginda Nabi SAW untuk minta maaf, namun reaksi Rasulullah SAW sangat luar biasa, beliau tersenyum bahagia dan mengatakan bahwa air minum itu rasanya enak sekali. Rasulullah SAW menghargai dan mengapresiasi setiap hasil usaha pelayanan dari Istrinya tercinta, dan tidak ingin menyakiti perasaan istrinya dengan mengatakan “Bahwa minuman ini tidak enak”, sekali TIDAK! Namun beliau menikmati air tersebut
Empat Level Membaca Al-Quran Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag., S.PdI, MA dakwatuna.com – “Bacalah…”, “Iqra’…” Perintah pertama, wahyu pertama, dan kunci pertama Allah ajarkan untuk Nabi Muhammad SAW dan Umatnya. Apa artinya? Ada arti yang luar biasa strategis diinginkan dengan agama Nabi Muhammad SAW ini. Untuk bisa lebih memahami pentingnya perintah membaca ini, mari kita bandingkan Umat Muhammad dengan umat-umat sebelumnya. Untuk meyakinkan membuat Fir’aun dan kaum Nabi Musa, Allah menunjukkan kemukjizatan yang irasional, yaitu tongkat yang dapat berubah menjadi ular. Nabi Isa, Allah berikan kemampuan menghidupkan orang mati, membuat orang buta bisa melihat, menyembuhkan penyakit lepra yang di kala itu tidak dapat disembuhkan sama sekali. Bagaimana dengan Umat Muhammad SAW? Rasulullah bersabda: “Tidak seorang nabi pun melainkan diberikan (mukjizat) yang membuat manusia beriman terhadap hal-hal seperti itu. Sedangkan yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diwahyukan kepadaku. Dan aku berharap menjadi (nabi) yang paling banyak pengikutnya.” (HR Bukhari dan Muslim) Mukjizat Nabi Muhammad SAW bukan hal-hal yang irasional. Nabi Muhammad mengajak umat manusia beriman atas dasar kerja akal dan proses berpikir rasional. Mari renungkan perintah Allah untuk membaca tersebut: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Apa yang diperintahkan untuk dibaca? Tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Karena yang lebih penting adalah bagaimana proses membaca dilakukan. Sangat banyak hal-hal yang harus dibaca. Supaya proses membaca menjadi efektif dan bermanfaat, Allah ajarkan adalah bagaimana kita membaca. Karena itu secara gamblang Allah jelaskan how to-nya: “Bacalah dengan nama Sang Pencipta.” Proses membaca yang bermanfaat yang mendorong pada keimanan kepada Sang Pencipta. Kegiatan membaca yang efektif adalah membaca yang dimulai dengan keberkahan iman kepada Allah. Allah yang menciptakan manusia. Allah merupakan sumber ilmu. Allah yang dengan murah hati memberikan karunia-Nya kepada hamba-Nya. Bahan bacaan yang paling baik adalah al-Qur’an. Kualitas bahan bacaan selalu ditentukan oleh kualitas sumbernya. Membaca tulisan yang dikarang seorang pakar di bidangnya tentu jauh bermanfaat dibandingkan tulisan yang dikarang oleh orang awam. Lalu bagaimana dengan bahan bacaan yang berasal dari Sang Pencipta Langit dan Bumi? Membaca al-Qur’an berarti mengkonsumsi informasi yang paling berkualitas yang ada pada umat manusia. Membaca al-Qur’an berarti menyerap ilmu yang paling tinggi yang mungkin diraih manusia. Membaca al-Qur’an berarti melakukan peningkatan cakrawala dengan sarana terbaik. Membaca al-Qur’an berarti meningkatkan kualitas diri dengan nara sumber yang paling ideal yang tidak terbayangkan ketinggian kualitasnya. Ada empat level dalam membaca al-Qur’an. Semuanya penuh berkah dan manfaat. Semakin tinggi level membaca seseorang, semakin besar manfaat yang diperoleh. Level Pertama: Mengucapkan al-Qur’an dengan Benar Rasulullah SAW, para sahabatnya dan para ulama sangat memberikan perhatian yang besar terhadap bagaimana mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an secara baik dan benar. Karena bentuk ideal transfer informasi adalah penyampaian redaksi secara tepat. Kesalahan pengucapan berakibat buruk pada proses transformasi informasi. Kalimat-kalimat ilahi dalam al-Qur’an bukan saja memuat informasi dan ajaran kebenaran dan keselamatan, tetapi juga memuat keindahan bahasa, ketinggian kualitas sastra, serta keagungan suasana ilahiyyah. Karena itu dalam membaca al-Qur’an sangat dianjurkan untuk memperhatikan adab-adabnya, seperti harus dalam keadaan suci, berpakaian menutup aurat, membaca dengan khusyu’, memperindah suara semampunya, dan memperhatikan tajwidnya. Rasulullah SAW bersabda: “Perindahlah al-Qur’an dengan suara kalian.” (HR Abu Daud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Al-Qur’an adalah kata-kata dari Allah yang Maha Indah, karena itu semaksimal mungkin kita menerjemahkan keindahan tersebut dengan cara kita membaca. Meskipun demikian bukan berarti mereka yang tidak mampu mengucapkan al-Qur’an dengan fasih mereka tidak boleh membaca al-Qur’an. Cukup bagi seorang mukmin untuk berusaha sesuai dengan kemampuannya. Rasulullah SAW bersabda: “Orang mahir membaca al-Qur’an, bersama dengan malaikat yang mulia dan berbakti. Sedangkan orang yang membaca al-Qur’an terbata-bata dan mengalami kesulitan (mengucapkannya) dia mendapatkan dua pahala.” (HR Muslim) Subhanallah, ini adalah kemurahan Allah SWT. Yang membaca al-Qur’an dengan penuh kesulitan dan terbata-bata Allah justru memberi dua pahala, yaitu pahala mengucapkan al-Qur’an dan pahala menghadapi kesulitan. Meskipun demikian yang mahir tetap mendapatkan kelebihan derajat yaitu kemuliaan bersama dengan para malaikat. Level Kedua, Membaca dengan Pemahaman Maksud dari semua perkataan adalah pemahaman terhadap makna dari perkataan tersebut. Demikian juga al-Qur’an. Allah menurunkan al-Qur’an kepada umat manusia bukan sekadar dibunyikan tanpa dipahami. Al-Qur’an bukanlah mantera-mantera yang diucapkan dengan komat-kamit. Al-Qur’an adalah petunjuk. Dan al-Qur’an tidak akan menjadi petunjuk jika maknanya tidak dipahami. Allah mengecam Ahlul Kitab yang merasa memiliki kitab suci tetapi tidak mengetahui isinya, Allah berfirman: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al kitab (Taurat), kecuali angan-angan belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS.Al-Baqarah: 78). Allah menyebut Ahlul Kitab sebagai “ummiyyin” padahal mereka mampu membaca dan menulis, tetapi karena mereka tidak mengetahui isi Kitab Suci mereka Allah menyebut mereka sebagai buta huruf. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna kata “amani” artinya membaca. Berdasarkan tafsir ini, kita memahami bahwa membaca saja tidak membuat kita mendapatkan hidayah jika kita tidak memahami dan mengetahui makna kalamullah. Untuk memahami al-Qur’an tentu saja perlu mempelajari bahasanya. Bagi yang tidak mengetahui bahasa Arab, membaca terjemahan atau tafsir berbahasa Indonesia bisa dijadikan pengganti sebagai langkah darurat. Saya katakan itu adalah langkah darurat, karena ketinggian bahasa al-Qur’an tidak mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa apapun. Terjemahan al-Qur’an hakikatnya hanyalah terjemahan dari pemahaman sang penerjemah. Bahkan jika kita tanya kepada siapapun yang menerjemahkan al-Qur’an, pasti dia akan mengatakan tidak semua makna yang dikandung oleh lafal-lafal al-Qur’an dapat ditemukan padanannya pada bahasa lain. Setingkat lebih baik dari terjemah al-Qur’an adalah terjemahan tafsir al-Qur’an, atau tafsir yang memang ditulis dalam bahasa Indonesia. Siapapun yang ingin mempelajari isi al-Qur’an tidak boleh melewatkan kitab-kitab tafsir. Seorang yang ahli bahasa Arab pun tidak akan tepat memahami al-Qur’an jika tidak mempelajari kitab tafsir. Karena sebagaimana halnya semua bahasa yang hidup adalah dinamis. Tidak semua kata-kata yang dipakai orang zaman sekarang memiliki makna yang sama dengan makna yang dipakai pada zaman turunnya al-Qur’an. Misalnya, kata ‘sayyaroh’ pada zaman ini berarti mobil, sedangkan dalam al-Qur’an ‘sayyaroh’ berarti kafilah dagang. Kata ‘qoryah’ di zaman sekarang dipakai untuk makna desa, sedangkan dalam al-Qur’an artinya adalah kota atau negeri. Di sisi lain kitab-kitab tafsir beragam kualitasnya sesuai dengan kapasitas keilmuan penulisnya. Yang paling dekat dengan kebenaran adalah yang paling banyak menggali pemahaman dari wahyu itu sendiri. Metode yang paling baik dalam menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu sendiri, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan Hadits Nabi, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan perkataan tabi’in, kemudian menafsirkan al-Qur’an dengan kaidah bahasa. Kitab tafsir yang paling baik menerapkan metode ini adalah Tafsir Ibnu Katsir. Dikarenakan al-Qur’an kitab yang universal, maka setiap masa selalu membutuhkan penafsiran yang mengupas al-Qur’an terkait dengan isu-isu kontemporer. Pada abad ke-19 dan ke-20 muncul tafsir-tafsir kontemporer seperti al-Manar karya Rasyid Ridho, at-Tahrir wat-Tanwir karya Ibnu Asyur, Adhwa-ul Bayan karya Muhammad Amin asy-Syinqithy, dan yang fenomenal adalah Fi Zhilalil Qur’an karya Sayyid Quthb. Level Ketiga, Membaca dengan Tadabbur Al-Qur’an mendorong manusia untuk memfungsikan akal dan hatinya lebih jauh dari sekadar memahami, walaupun level memahami al-Qur’an adalah level aktivitas otak yang tinggi. Jika seseorang memahami Kalamullah berarti dia telah mencerna informasi yang luar biasa tinggi kualitasnya. Tetapi ternyata Allah menginginkan kapasitas pemikiran seorang muslim bergerak lebih jauh. Al-Qur’an mendorong akal dan hati untuk mentadabburi al-Qur’an. Tadabbur berarti deep thinking, merenungi, memperhatikan secara mendalam, menggali hakikat yang tersimpan di balik kata-kata, dan menyingkap horizon di belakang makna. Hal itu karena hakikat-hakikat yang terangkum dalam al-Qur’an tidak semuanya hakikat yang permukaan yang sederhana dan mudah ditangkap. Banyak hakikat-hakikat yang membutuhkan pemikiran yang dalam, perenungan yang jauh serta pandangan yang tajam. Dan hal itu tidak mungkin didapatkan hanya sekadar dengan menangkap lapisan luar lafal-lafal al-Qur’an. Lebih jauh bahkan Allah menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dengan tujuan agar manusia mentadabburi ayat-ayat-Nya. Allah berfirman: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 76). Untuk mentadabburi ayat-ayat Allah diperlukan hati yang bersih dan pemikiran yang tajam. Hati yang dipenuhi oleh hawa nafsu tidak akan mampu melihat secara jernih, karena syahwat akan banyak berbicara dan mengendalikan hati. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiyah: 23). Ayat-ayat Allah yang terbentang di alam semesta juga hanya dapat ditangkap dan dipahami oleh hati-hati yang bersih. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulil Albab)” (QS. Ali Imran: 190). Level Keempat, Membaca dengan Khusyu’ Masih ada plafon yang lebih tinggi di atas tadabbur? Ya, al-Qur’an terus mendorong manusia untuk terbang tinggi menuju ketinggian ruh, masuk ke alam penuh dengan keagungan ilahi dengan hati khusyu’ ruh sang mukmin menyaksikan keagungan Allah. Setelah hati mampu melihat alam di belakang dunia materi, memahami hakikat di balik fenomena alam, ketika tirai tersingkap, hati mukmin yang mentadabburi al-Qur’an luluh. Hati tunduk melihat kebesaran Allah. Kulit bergetar merasakan keagungan Hakikat Mutlak. “Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. az-Zumar: 23). Orang-orang yang hatinya dipenuhi dengan ilmu ilahi, orang-orang yang kedalaman ilmunya kokoh akan bersujud tunduk, mata mereka akan memancarkan air mata kekhusyu’an setiap kali mereka diingatkan dengan ayat-ayat Allah, setiap kali hati mereka tersentuh dengan Kebenaran Ilahi Mutlak. “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, (108) dan mereka berkata: “Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi”. (109) dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (QS. al-Isra’: 107-109). Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/12/17/25371/empat-level-membaca-al-quran/#ixzz4bddx3UEu Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Apa Hukumnya Orang Menikah Tetapi Sudah Hamil Duluan? Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/03/12/47662/apa-hukumnya-orang-menikah-tetapi-sudah-hamil-duluan/#ixzz4bdbRlzSB Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook Pertanyaan: Assalamu’alaikum, wr. wb. Ustadz, nama saya Suriadi, saya mau nanya apa hukumnya orang nikah, tetapi sudah hamil duluan? (dari 085245263xxx) Jawab: Wa’alaikumsalam wr. wb. Bismillahirrahmanirahim. Kita akan rinci menjadi beberapa pembahasan: I. Hukum Menikahi Wanita/Pria pezina Yang dimaksud pezina di sini adalah yang memang zina menjadi kebiasaannya (seperti pelacur/germo/laki-laki hidung belang ). Para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian: A. Jika yang menikahi adalah orang baik-baik (mukmin, shalih), maka hukumnya haram, kecuali si pezina itu tobat dahulu. Larangan ini berdasarkan Dalil-Dalil sebagai berikut: 1. Al Quran Al-Maidah (5) ayat 5: “Pada masa ini Dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) Yang lezat-lezat serta baik-baik. dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka). dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Ahli Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskawinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan.” Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata: لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة “Tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita pezina, dan tidak halal seorang wanita menikahi seorang pria pezina, kecuali jika ia bertaubat.” Setelah itu Syaikh Sayyid Sabiq menjadikan ayat di atas sebagai dalil. Tentang ayat di atas Syaikh Sayyid Sabiq juga berkata: أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان “Yakni sesungguhnya Allah sebagaimana Dia menghalalkan yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang beri Al Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, (maka) Dia menghalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan mu’minat, dan juga wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli kitab, dengan keadaan bahwa mereka sebagai suami istri yang sebelumnya sama-sama menjaga kehormatan, tidak berzina, dan tidak pernah sebagi gundik (simpanan).” [1] Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat, “ dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman,” : أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات “Yakni dihalalkan bagi kalian menikahi wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan wanita beriman.” [2] Imam Abu Ja’far ath Thabari berkata tentang ayat tersebut: أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن- أن تنكحوهن “Dihalalkan bagi kalian, wahai orang-orang beriman, wanita-wanita merdeka dari kalangan beriman, untuk kalian menikahi mereka ..” [3] Jadi, yang halal bagi orang baik-baik hanyalah menikahi wanita mu’minah yang menjaga kehormatannya, bukan pezina. An Nuur (24) ayat 3: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.” Ayat ini jelas-jelas menyebutkan bahwa yang layak menikahi pezina adalah pezina juga, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina atau musyrik. Mereka pezina dan musyrik hanya layak dinikahi dengan pezina dan musyrik juga. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang ayat ini: ومعنى ينكح: يعقد. وحرم ذلك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك. “Makna dari ‘mengawini’ adalah mengadakan akad. Yang demikian itu diharamkan, yaitu diharamkan atas orang-orang beriman menikahi orang-orang yang disifati sebagai pezina atau musyrik, karena tidak ada yang menikahi mereka kecuali pezina dan musyrik juga.”[4] 2. As Sunnah عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ { وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ } فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Martsad bin Abi martsad al Ghanawi dahulu dia membawa keluarganya ke Mekkah, di Mekkah ada seorang pelacur bernama ‘Anaq, dia adalah teman dari Martsad. Dia (Martsad) berkata: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku nikah dengan ‘Anaq?”, dia berkata: Rasulullah mendiamkan saya, maka turunlah ayat “Wanita pezina tidaklah menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.” Lalu Rasulullah memanggil saya dan membacakan kepada saya, lalu bersabda: “Jangan kau menikahinya!” [5] Hadits ini tegas melarang pria baik-baik menikahi wanita pezina (pelacur). Dalam Aunul Ma’bud disebutkan: فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّهُ لَا يَحِلّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ مِنْهَا الزِّنَا “Di dalamnya terdapat dalil, bahwa tidak halal bagi pria menikahi wanita yang terang-terangan darinya perzinahan (pelacur).” [6] Hadits lainnya: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الزَّانِي الْمَجْلُودُ إِلَّا مِثْلَهُ Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Pezina laki-laki yang didera, tidaklah menikah kecuali dengan yang semisalnya.” [7] Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan: قال الشوكاني: هذا الوصف خرج مخرج الغالب باعتبار من ظهر منه الزنا. وفيه دليل على أنه لا يحل للرجل أن يتزوج بمن ظهر منها الزنا. وكذلك لا يحل للمرأة أن تتزوج بمن ظهر منه الزنا. Berkata Asy Syaukani: Ini adalah sifat yang telah nampak dari kebiasaan, yaitu orang yang memang terbiasa berbuat zina. Dan di dalamnya terdapat dalil bahwa tidak halal bagi laki-laki menikahi wanita yang biasa melakukan zina, demikian pula tidak dihalalkan bagi wanita menikahi laki-laki yang terbiasa berzina. [8] Berkata penulis Aunul Ma’bud: قَالَ الْعَلَّامَة مُحَمَّد بْن إِسْمَاعِيل الْأَمِير فِي سُبُل السَّلَام : فِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى أَنَّهُ يَحْرُم عَلَى الْمَرْأَة أَنْ تُزَوَّج بِمَنْ ظَهَرَ زِنَاهُ ، وَلَعَلَّ الْوَصْف بِالْمَجْلُودِ بِنَاء عَلَى الْأَغْلَب فِي حَقّ مَنْ ظَهَرَ مِنْهُ الزِّنَا . وَكَذَلِكَ الرَّجُل يَحْرُم عَلَيْهِ أَنْ يَتَزَوَّج بِالزَّانِيَةِ الَّتِي ظَهَرَ زِنَاؤُهَا “Berkata Al ‘Allamah Muhammad bin Ismail Al Amir dalam Subulus Salam: “Di dalam hadits terdapat dalil bahwa haram bagi wanita menikah dengan laki-laki yang telah nampak perzinahannya, dan penyifatannya dengan mendapatkan dera, dikarenakan zina telah menjadi hal yang dominan (kebiasaan) baginya secara nyata. Demikian pula bagi laki-laki diharamkan baginya menikahi wanita yang telah nampak perzinahannya.” [9] Dari uraian ini, maka jelaslah haramnya orang baik-baik, mukmin, shalih, menikahi orang yang terbiasa zina (pelacur). B. Hukum Pernikahan Dua Orang yang Berzina, tetapi mereka bukan pelacur atau Bukan laki-laki hidung belang. Ini yang paling banyak terjadi, mereka berzina karena rayuan setan, dan tidak mampu menjaga diri, akibat pergaulan bebas (baca: pacaran). Namun, mereka bukanlah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina adalah kebiasaan seperti pelacur, germo, atau laki-laki hidung belang. Apakah mereka berdua boleh dinikahkan? Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah: وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك “Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.” [10] Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan. Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat. Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy Syafi’i berpendapat boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya, pen) bukan alasan haramnya kawin. [11] C. Wanita yang berzina, lalu Dia menikah dan si Laki-Laki bukanlah pelakunya. Ini berbeda dengan kasus di atas, ini yang menikahi wanita tersebut bukanlah laki-laki yang pernah berzina dengannya tetapi, laki-laki lain. Bolehkah pernikahan mereka berdua? Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Nikahnya orang zina itu haram hingga ia bertaubat, baik dengan pasangan zinanya atau dengan orang lain. Inilah yang benar tanpa diragukan lagi. Demikianlah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf, di antara mereka yakni Ahmad bin hambal dan lainnya. Tetapi kebanyakan ulama salaf dan khalaf membolehkannya, yaitu pendapat Imam Yang tiga, hanya saja Imam Malik mensyaratkan rahimnya bersih (kosong/tidak hamil). Abu Hanifah membolehkan akad sebelum istibra’ (bersih dari kehamilan) apabila ternyata dia hamil, tetapi jika dia hamil tidak boleh jima’ (hubungan badan) dulu sampai dia melahirkan. Asy Syafi’i membolehkan akad secara mutlak akad dan hubungan badan, karena air sperma zina itu tidak terhormat, dan hukumnya tidak bisa dihubungkan nasabnya, inilah alasan Imam Asy Syafi’i. Abu Hanifah memberikan rincian antara hamil dan tidak hamil, karena wanita hamil apabila dicampuri, akan menyebabkan terhubungnya anak yang bukan anaknya, sama sekali berbeda dengan yang tidak hamil.” II. Nikahnya Wanita Hamil Harus dirinci sebagai berikut: 1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil? Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya. Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai. 2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah? Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, maka menurut Imam Asy Syafi’i adalah boleh. Imam Abu Hanifah juga membolehkan tetapi tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan. Imam Ahmad mengharamkannya. Begitu pula Imam Malik dan Imam Ibnu Tamiyah. Sedangkan, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, maka menurut Imam Ibnu taimiyah juga tidak boleh kecuali ia bertaubat, yang lain mengatakan boleh, selama ia bertobat plus Iddahnya selesai (yakni sampai melahirkan), inilah pendapat Imam Ahmad. Demikian. Wallahu A’lam Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain. Catatan Kaki: [1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 92-93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi [2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Juz.3, Hal. 42. Daruth Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’ [3] Imam Abu Jafar ath Thabari, Jami’ul Bayan, Juz. 9, hal. 581. Muasasah Ar Risalah [4] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, Hal. 93. Dar Al kitab Al ‘Arabi [5] HR. Abu Daud, Juz. 5, hal. 433, No.1755. An Nasa’i, Juz.10, hal. 328, No. 3176. Syaikh al Albany berkata: Hasan Shahih, lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz. 5, hal. 51. Al Maktabah Asy Syamilah [6] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi, ‘Aunul Ma’bud, Juz. 4, hal. 437, hadits no. 1755. Al Maktabah Asy Syamilah [7] HR. Abu Daud, Juz.5, Hal. 434, No.1756. Ahmad, Juz.16, Hal.491, No.7949. Syaikh al Albany menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Juz.5, Hal. 52. Al Maktabah Asy Syamilah [8] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, hal. 94. Darl Kitab Al ‘Arabi [9] Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi, Aunul Ma’bud, Juz.4, Hal. 438, No hadits. 1756. Al Maktabah Asy Syamilah [10] Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, Juz. 5, Hal. 184-185. Al Maktabah Asy Syamilah [11] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 2, hal. 97-98. Darul Kitab Al ‘Arabi Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/03/12/47662/apa-hukumnya-orang-menikah-tetapi-sudah-hamil-duluan/#ixzz4bdaxWlbN Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 15 Maret 2017

INOVASI PENDIDIKAN ISLAM FAZLUR RAHMAN 0leh : Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag., S.PdI, MA A. PENDAHULUAN Ketika memasuki abad ke-18 terjadilah desakan yang begitu hebat oleh penetrasi Barat terhadap dunia Islam, yang membuat umat Islam membuka mata dan menyadari betapa mundurnya umat Islam itu jika dihadapkan dengan kemajuan Barat. Untuk mengobati kemunduran umat Islam tersebut, maka pada abad ke-20 mulailah diadakan usaha-usaha pembaharuan dalam segala bidang kehidupan manusia termasuk dalam bidang pendidikan. Manurut Fazlur Rahman, meskipun telah dilakukan usaha-usaha pembaharuan Pendidikan Islam, namun dunia pendidikan Islam masih saja dihadapkan pada beberapa problema. Tujuan pendidikan Islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan pada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya diorientasikan kepada kehidupan akherat semata dan cenderung bersifat defensif, yaitu untuk menyelamatkan umat Islam dan pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, terutama gagasan-gagasan yang mengancam standar-standar moralitas tradisional Islam. Pada dasarnya ada tiga pendekatan pembaharuan pendidikan yang dilakukan pada waktu itu, yaitu pengislaman pendidikan sekuler modern, menyederhanakan silabus-silabus tradisional dan menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan lama dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan modern. Pertama, mengislamkan pendidikan sekuler modern. Pendekatan ini dilakukan dengan cara menerima pendidikan sekuler modern yang telah berkembang pada umumnya di Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya, yaitu mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Ada dua tujuan dari mengislamkan pendidikan sekuler modern ini, yaitu ; (1) membentuk watak pelajar-pelajar atau mahasiswa-mahasiswa dengan nilai-nilai Islam dalam kehidupan individu dan masyarakat, (2) memungkinkan para ahli yang berpendidikan modern menangani bidang kajian masing-masing dengan nilai-nilai Islam pada perangkat-perangkat yang lebih tinggi, menggunakan perspektif Islam untuk mengubah kandungan maupun orientasi kajian-kajian mereka. Kedua tujuan tersebut berkaitan erat antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila pembentukan watak dengan nilai-nilai Islam yang dilakukan pada pendidikan tingkat pertama ketika pelajar-pelajar masih dalam usia muda dan mudah menerima kesan, tanpa sesuatu pun yang dilakukan untuk mewarnai pendidikan tinggi dengan orientasi Islam, maka pandangan pelajar-pelajar yang telah mencapai tingkat yang tinggi dalam pendidikannya akan tersekulerkan dan bahkan kemungkinan besar mereka akan membuang orientasi Islam apapun yang pernah mereka miliki. Hal ini akan terjadi dalam skala yang luas. Kedua, menyederhanakan silabus-silabus tradisional. Pendekatan ini diarahkan dalam kerangka pendidikan tradisional itu sendiri. Pembaharuan ini cenderung menyederhanakan silabus-silabus pendidikan tradisional yang sarat dengan materi-materi tambahan yang tidak perlu seprti : teologi zaman pertengahan cabang-cabang filsafat tertentu (seperti logika), dan segudang karya tentang hukum Islam> penyederhanaan ini berupa pengesampingan sebagian besar karya-karya dalam berbagai disiplin zaman pertengahan dan menekankan pada bidang hadits, bahasa dan kesusastraan Arab serta prinsip-prinsip tafsir al-Qur’an (Rahman, 1984 : 138). Ketiga, menggabungkan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru. Dalam kasus seperti ini, lama waktu belajar diperpanjang dan disesuaikan dengan panjang lingkup kurikulum sekolah-sekolah dan akademi modern. Di Indonesia pada tingkat akademi telah dimulai dilakukan upaya-upaya yang ditujukan untuk menggabungkan ilmu-ilmu pengetahuan modern dengan ilmu-ilmu pengetahuan tradisional. (Rahman, 1984 : 138) Akan tetapi menurut Fazlur Rahman, integrasi dan penggabungan yang seperti diuraikan di atas tidak ada, karena sifat pengajaran yang umumnya mekanis dan hanya menyandingkan ilmu pengetahuan yang lama dengan ilmu pengetahuan yang modern. Situasi ini diperburuk lagi dengan masih minimnya jumlah buku-buku yang tersedia di perpustakaan. Sehingga hal ini mengakibatkan, di satu pihak pengajaran akan tetap mandul sekalipun anak didik mempunyai bakat dan kemauan, di lain pihak guru-guru yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu tidak akan dihasilkan dalam skala yang mencukupi (Rahman, 1984 : 139). Melihat kondisi yangh demikian ini, Rahman mencoba menawarkan solusinya. Oleh karena itu, untuk mengetahui bagaimana pemecahan problema pendidikan Islam tersebut, maka studi gagasan Fazlur Rahman tentang solusi problema pendidikan Islam modern menjadi sangat penting. B. Latar Belakang Pembaharuan Pemikiran Fazlur Rahman Penelitian sejarah Islam pada umumnya menggaris bawahi bahwa gerakan modernisme Islam timbul dari dampak penetrasi Barat, semenjak abad 17 M/12 H. Keunggulan militer dan sains Barat menyadarkan keterbelakangan masyarakat Islam lalu menumbuhkan semangat kebangkitan Islam. Gambaran masyarakat Islam pada saat itu ibarat sebuah masyarakat yang semi-mati yang menerima pukulan-pukulan destruktif atau pengaruh-pengaruh Barat yang menekan. Sebetulnya krisis intelektual dan benturan kultural semacam ini pernah dihadapi oleh masyarakat muslim dari abad 2 H/8 M. Mereka, pada saat itu, dihadapkan dengan tantangan intelektual “Hellenis” (Pringgodigdo, 1977 : 402). Namun mereka berhasil mengatasi benturan dan tantangan tersebut dengan cara asimilasi-kreatif. Faktor keberhasilan tersebut adalah adanya dominasi politik Islam. Secara praktis Islam pada saat itu adalah penguasa politik terbesar dunia, faktor lainnya adalah kondisi dan situasi Islam saat itu belum terbebani oleh tradisi agama yang semi-mati, hal ini sangat berbeda dengan kondisi dan situasi Islam pada abad 17 M dan lebih khusus pada akhir abad 18 M. Akibat kekalahan dan penyerahan politik, menjadikan umat Islam secara psikoligis tidak mampu merumuskan kembali warisannya secara konstruktif, sehingga upaya modernisasi yang berkembang terkesan sekedar meminjam dan mengimpor/mengoper kemajuan peradaban Barat. Bagaimanapun juga umat Islam yang baru bangun dan baru bangkit tersebut belum siap mengadakan modernisasi yang lebih besar dan mendasar. Untuk arah kesana diperlukan proses dan waktu yang panjang. Kondisi obyektif masyarakat Islam yang mengalami kemacetan tidak hanya di bidang lahiriyah tetapi juga di bidang intelektual, maka dominasi politik dan teknologi penjajah Barat segera mendapat tanggapan dari tokoh-tokoh modernis, sehingga ide yang berkembang adalah modernisme intelektual dan modernisme politik. Untuk mengatasi kemacetan di bidang intelektual. Semua pembaharu klasik menekankan arti pentingnya rasio (pikiran) dan paham rasionalisme, sekalipun dalam tatanan yang berbeda-beda. Dimulai oleh Jamaluddin al-Afghani (1255-1315 H/1839-1897 M) yang menyerukan peningkatan standar moral dan intelektual untuk menanggulangi bahaya ekspansionisme Barat. Walaupun ia sendiri tidak melakukan modernisasi intelektual, namun seruannya menggugah masyarakat Muslim untuk mengembangkan dan menyebarkan disiplin-disiplin filosofis, dan ia hanya mengadakan sedikit upaya pembaharuan pendidikan secara umum. Maka, selanjutnya menjadi tugas Muhammad ‘Abduh (1261-1323 H/1845-1905 M) di Mesir dan Sayyid Ahmad Khan (1232-1316 H/1817-1898 M) di India untuk membuktikan pernyataan al-Afghani bahwa akal dan ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan Islam. Keduanya, yakni Muhammad ‘Abduh dan Ahmad Khan, sama-sama lahir dari tradisi madrasah, sama-sama menekankan paham rasionalisme Islam dan free will, sama-sama mengadakan pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar, sedang Ahmad Khan dengan mendirikan perguruan tinggi Aligarh yang sekuler (Abduh, 1970 : 107-119). Upaya dan tokoh-tokoh pembaharu ini pada akhirnya melahirkan sejumlah murid yang meneruskan proses modernisme. Jadi inilah yang dimaksudkan oleh kutipan Rahman di atas,”bahwa pembaharuan modernisme klasik setidak-tidaknya telah berupaya mengadakan reformasi internal, yakni menanamkan rasionalisme sebagai solusi awal terhadap kemacetan dan kemerosotan intelektual. Ide-ide kreatif yang dimunculkan oleh kebanyakan modernis kontemporer pada umumnya tidak jauh berbeda dengan kebijakan modernisme klasik. Mereka mencarikan konsep-konsep baru dalam bidang-bidang tertentu secara lebih sistematis. Adalah Ziauddin Sardar, pakar fisika Pakistan, bersama dengan Ali Syari’ati (1933-1977), intelektual sosial Iran, menampilkan ide membangun peradaban yang Islami, atau Islamisasi peradaban. Keduanyta menolak alih teknologi Barat dapat “mendongkrak” dunia Islam untuk maju. Karena teknologi yang dipinjam dari Barat selalu tidak cocok dengan masyarakat Muslim (Sardar, 1991 : 59). Alih teknologi tidak hanya menyebabkan mapannya ketergantungan dunia Islam terhadap Barat, juga merusak kebudayaan dan lingkungan Muslim. Solusi yang disampaikan oleh Sardar adalah mengembangkan teknologi yang mencerminkan norma-norma budaya Islam, dalam aspek sejarah, ekonomi, pendidikan dan pemerintahan. Bersama-sama dengan Hossein Nasr (Nasr, 1987 : 183), Sardar menilai bahwa peradaban Barat telah menghancurkan dan melepaskan nilai-nilai sakral dan spiritual alam. Kemajuan teknologi yang tidak terkendali telah menimbulkan kekhawatiran terhadap masa depan peradaban manusia, karena kehidupan modern Barat telah kehilangan visi transendental (Ilahiyah). Dalam hal ini Nasr memilih spiritualisme sebagai solusi alternatif upaya pembebasan manusia modern. Nasr sangat optimis dengan solusi sufistik ini. Menurut sufisme akan memuaskan manusia modern dalam mencari Tuhan (Nasr, 1976 : vi). Masyarakat Barat modern hampir-hampir bosan dengan tradisi ilmiah teknologis yang kering dan mereka tidak menemukan pemuasnya dalam ajaran Kristen dan Budha, maka upaya memperkenalkan sufisme Islam kian mendesak. Dalam konteks Islam, menurutnya, spiritualitas mengandung beberapa dimensi seperti tercermin melalui istilah ruh dan sikap batin. Inilah yang membedakannya spiritual dalam pengertian Barat, yang dipahami sekadar fenomena psikologis. Menurut krisis peradaban Barat modern bersumber dari penolakan ruh dan pengingkaran ma’nawiah dalam kehidupan. Manusia Barat membebaskan diri dari Tuhan dan mereka menjadi tuan bagi kehidupan sehingga terputus dari spiritualitasnya, maka terjadilah desakralisasi. Alam hanya difungsikan sebagai obyek dan sumber daya untuk diekspolitasi semaksimal mungkin (Ulumul Qur’an, 1993 : 108). Fenomena inilah yang dianggap paling penting oleh Nasr untuk dicarikan solusinya melalui spiritualisme Islam. Solusi lainnya yang dikembangkan oleh sejumlah pemikir modernis, sehingga gemanya lebih terdengar dibanding dua solusi di atas, adalah Islamisasi sains (ilmu pengetahuan). Adalah Isma’il Raji al-Faruqi dan Naquib al-attas, dua tokoh modernis yang paling awal yang menyuarakan Islamisasi ilmu pengetahuan. Dari dua konsep yang disampaikan dua tokoh tersebut tergambar adanya keinginan memberi warna atau nilai agamis pada pengetahuan. Gagasan Islamisasi pengetahuan sampai sekarang, walaupun telah menjadi tema sentral yang trendi di kalangan cendekiawan Muslim, masih merupakan gagasan dasar dan kontroversial yang memerlukan waktu lama untuk mencapai apa yang dikehendaki dengan “sains yang Islami”. Ketiga solusi alternatif di atas masing-masing mengandung karakter yang berbeda. Rekayasa peradaban Islam cenderung eksklusifme. Spiritualisme Nasr dan islamisasi ilmu pengetahuan cenderung moderat dengan memadukan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam. Persamaan ketiga gagasan itu adalah posisinya yang menjadikan krisis peradaban modern sebagai orientasi nilai-nilai Islam. Dalam tata ilmu, ketiga gagasan tersebut berada pada tataran aksiologis. Kembali ke pokok permasalahan, pemikiran Rahman tokoh modernis yang menjadi sentral penelitian ini tidak sebagaimana tokoh-tokoh pemikir kontemporer lainnya yang menjadikan fakta empirik kehidupan modern sebagai sentral obyek gagasan, sebagaimana telah disinggung di muka. Rahman menjadikan al-Quran sebagai sentral penelitian (Yuyun, 1993) untuk membangun konsep-konsep metodologis dan rumusan metodis interpretasi al-Quran. “Pemahaman al-Quran dengan konteks kemoderenan” merupakan tujuan yang hendak disumbangkan oleh Rahman melalui usaha keras dalam membangun konsep dan merumuskan pemikirannya. Mengenai studi Rahman ini, Montgomery Watt berkomentar bahwa dua tokoh pemikir Islam kontemporer yang paling terkenal adalah Rahman bersama dengan Arkoun (Mouleman, 1993 : 93). Program Rahman yang terbesar adalah keberhasilannya merancang metode baru dalam penafsiran Al-Qur’an. Jadi tataran pemikiran Rahman berada pada tingkat ontologi dan epistemologi, tidak pada tataran aksiologi. Agaknya Rahman menyadari bahwa masalah internal yang harus diselesaikan oleh modernisme kontemporer. Masalah tersebut, menurut Rahman tidak cukup diselesaikan melalui gerakan reformasi tetapi harus diselesaikan melalui upaya-upaya rekonstruksi pemikiran Islam. C. Pemikiran Pembaharuan pendidikan Islam a. Tujuan Pendidikan Dewasa ini pendidikan Islam sedang dohadapkan dengan tantangan yang jauh lebih berat dari masa permulaan penyebaran islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealisme umat manusia yang serba multi interest dan berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi komplek pula .Ditanbah lagi dengan beban psikologis umat islam dalam menghadapi barat bekas saingan jika bukanya musus sepanjang sejarah . Kesulitan ini semakin menjadi akut karena faktor psikologis yang lain , yang timbul sebagai komplek pihak yang kalah , berbeda dengan kedudakan umat islam klasik pada waktu itu umat islam adalah pihak yang menang dan berkuasa). Fenomena tersebut, menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, telah menyuburkan tumbuhnya golongan -golongan penekan .Golongan-golongan ini dengan cepat meraih kekuasaan dari orang -orang yang pikiranya lebih cenderung kepada agama.Akibatnya munculah suatu ketergantungan dan pertentangan antara golongan sekular dengan golongan agama.Pertentangan ini telah menampakan diri secara terang-terangan dibeberapa negara seperti Turki,Mesir,Pakistan dan Indonesia. Fenomina pada gilirannya mengakibatkan pendidikan islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positip.Tujuan pendidikan islam cenderung berorientasi kepada kehidupan akhirat semata dan bersifat desentif. Hal ini sebagai mana yang dikemukakan oleh Rahman bahwa : Strategi pendidikan islam yang ada sekarang ini tidaklah benar-benar diarahkan kepada tujuan yang positif,tetapi lebih cenderung bersifat defensif yaitu untuk menyelamatkan pikiran kaum Muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang ditimbulkan oleh dampak gagasan-gagasan Barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu,terutama gagasan-gagasan yang akan meledakkan standar moralitas Islam. Dalam kondisi kepanikan spiritual itu,strategi pendidikan Islam yang dikembangkan diseluruh dunia Islam secara universal bersifat mekanis.Akibatnya munculah golongan yang menolak segala apa yang berbau Barat,bahkan adapula yang mengharamkan pengambil alihan ilmu dan teknologinya.Sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan kemunduran umat Islam. Menurut Rahman, ada beberapa hal yang haruh dilakukan Pertama, tujuan pendidikanIslam yang bersifat desentif dan cenderung berorientasi hanya kepada kehidupan akhirat tersebut harus segera diubah.Tujuan pendidikan islam harus berorientasi kepada klehidupan dunia dan akhirat sekaligus serta bersumber pada AL-Qur’an.Menurutnya bahwa : Tujuan pendidikan dalam pandangan AL-Qur’an adalah untuk mengembangkan kemampuan inti manusia dengan cara yang sedemikian rupa sehingga ilmu pengetahuan yang diperolehnya akan menyatu dengan kepribadian kreatifnya (Ibid). Kedua, beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat harus segera dihilangkan.Untuk menghilangkan beban psikologis umat Islam tersebut,Rahman menganjurkan supaya dilakukan kajian Islam yang menyeluruh secara historis dan sistimatis mengenai perkembangan disiplin-disiplin ilmu Islam seperti teologi,hukum,etika,hadis ilmu-ilmu sosial,dan filsafat,dengan berpegang kepada AL-Qur’an sebagai penilai.Sebab disiplin ilmu-ilmu Islam yang telah berkembang dalam sejarah itulah yang memberikan kontiunitas kepada wujud intelektual dan spiritual masyarakat Muslim.Sehingga melalui upaya ini diharapkan dapat menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat. Ketiga, sikap negatif umat Islam terhadap ilmu pengetahuan juga harus dirubah. Sebab menurut Rahmah, ilmu pengetahuan tidak ada yang salah, yang salah adalah penggunanya. Ilmu tentang atom misalnya, telah ditemukan saintis Barat, namun sebelum mereka memanfaatkan tenaga listrik dari penemuan itu (yang dimaksud memanfaatkan energi hasil reaksi inti yang dapat ditransformasikan menjadi energi listrik) atau menggunakannya buat hal-hal yang berbguna, mereka menciptakan bom atom. Kini pembuatan bom atom masih terus dilakukan bahkan dijadikan sebagai ajang perlombaan. Para saintis kemudian dengan cemas mencari jalan untuk menghentikan pembuatan senjata dahsyat itu. Rahman juga menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an kata al-ilm (ilmu pengetahuan) digunakan untuk semua jenis ilmu pengetahuan. Contohnya, ketika Allah mengajarkan bagaimana Daud membuat baju perang, itu juga al-’ilm. Bahkan sihir (sihr), sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Harut dan Marut kepada manusia, itu juga merupakan salah satu jenis al-’ilm meskipun jelek dalam arti praktek dan pemakaiannya. Sebab banyak yang menyalahgunakan sihir itu untuk memisahkan suami dari istrinya. Begitu pula hal-hal yang memberi wawasan baru pada akal termasul al-’ilm. b. Sistem Pendidikan Persoalan dualisme dikotomi sistem pendidikan itu telah melanda seluruh negara Muslim atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bahkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, dikotomi sistem pendidikan itu bukan hanya menyangkut perbedaan dalam struktur luarnya saja tapi juga perbedaan yang lahir dari pendekatan mereka terhadap tujuan-tujuan pendidikan. Sistem tradisional kuno dalam Islam didasarkan atas seperangkat nilai-nilai yang berasal dari Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa tujuan-tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang taat kepada Tuhan dan akan selalu berusaha untuk patuh pada perintah-perintah-Nya sebagaimana yang dituliskan dalam kitab suci. Orang semacam ini akan berusaha untuk memahami seluruh fenomena di dalam dan di luar khazanah kekuasaan Tuhan. Di lain pihak sistem modern, yang tidak secara khusus mengesampingkan Tuhan, berusaha untuk tidak melibatkan-Nya dalam penjelasannya mengenai asal-usul alam raya atau fenomena dengan mana manusia selalu berhubungan setiap harinya. Di tengah maraknya persoalan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut, Rahman berupaya untuk menawarkan solusinya. Menurutnya untuk menghilangkan dikotomi sistem pendidikan Islam tersebut adalah dengan cara mengintegrasikan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum secara organis dan menyeluruh. Sebab pada dasarnya ilmu pengetahuan itu terintegrasi dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian di dalam kurikulum maupun silabus pendidikan Islam harus tercakup baik ilmu-ilmu umum seperti ilmu sosial, ilmu-ilmu alam dan sejarah dunia maupun ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kalam, tafsir, Hadis. Menurut hemat penyusun, metode integrasi seperti yang ditawarkan oleh Rahman itulah yang pernah diterapkan pada masa keemasan Islam. Pada masa itu ilmu dipelajari secara utuh dan seimbang antara ilmu-ilmu yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan di dunia (ilmu-ilmu umum) maupun ilmu-ilmu untuk mencapai kebahagiaan di akhirat (ilmu-ilmu agama). Pendekatan integralistik seperti itu, yang melihat adanya hubungan fungsional antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, telah berhasil melahirkan ulama-ulama yang memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu serta memiliki pengetahuan luas dan mendalam pada masa klasik. Ibn Sina misalnya, selain ahli agama, juga seorang psikolog, ahli dalam ilmu kedokteran dan sebagainya. Demikian pula dengan Ibn Rusyd, ia di samping sebagai ahli hukum Islam, juga ahli dalam bidang matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat dan ilmu pengobatan. Menurut Rahman bahwa ilmu pengetahuan itu pada prinsipnya adalah satu yaitu berasal dari Allah SWT.31 Hal ini sesuai degan apa yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datangnya dari Allah. Sebagian diwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya melalui ayat-ayat Qur’aniyah dan sebagian lagi melalui ayat-ayat kauniyah yang diperoleh manusia dengan menggunakan indera, akal dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolut sedangkan pengetahuan yang diperoleh, kebenarannya tidak mutlak. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa ilmu Allah dapat diketahui dan dipelajari melalui dua jalur yaitu jalur ayat-ayat Qur’aniyah dan jalur ayat-ayat kauniyah. Untuk lebih jelasnya lihat skema di bawah ini : c. Anak Didik (Peserta Didik) Anak didik yang dihadapi oleh dunia pendidikan Islam di negara-negara Islam berkaitan erat dengan belum berhasilnya dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum ditumbangkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Belum berhasilnya penghapusan dikotomi antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum mengakibatkan rendahnya kualitas intelektual anak didik dan munculnya pribadi-pribadi yang pecah (split personality) dari kaum Muslim. Misalnya seorang muslim yang saleh dan taat menjalankan ibadah, pada waktu yang sama ia dapat menjadi pemeras, penindas, koruptor, atau melakukan perbuatan tercela lainnya (Mujib, 1992 : 234). Bahkan yang lebih ironis lagi dikotomi sistem pendidikan tersebut mengakibatkna tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam dari lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebagian dari mereka lebih berperan sebagai pemain-pemain teknis dalam masalah-masalah agama. Sementara ruh agama itu sendiri jarang benar digumulinya secara intens dan akrab. Menurut Rahman, beberapa usaha yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Pertama, anak didik harus diberikan pelajaran Al-Qur’an melalui metode-metode yang memungkinkan kitab suci bukan hanya dijadikan sebagai sumber inspirasi moral tapi juga dapat dijadikan sebagai rujukan tertinggi untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang semakin kompleks dan menantang (Rahman, Loc.cit). Dalam kaitan itu Rahman menawarkan metode sistematisnya dalam memahami dan menafsirkan Al Qur’an. Metode itu terdiri dari dua gerakan ganda yaitu dari situasi sekarang ke masa Al Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. Gerakan pertama mempunyai dua langkah. 1. Orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi dan problem historis di mana pernyataan AL Qur’an tersebut merupakan jawaban. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, sutau kajian mengenai mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga dan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam, khususnya di sekitar Mekkah harus dilakukan 2. Menggenerasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral dan sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis yang sering dinyatakan. Selama proses ini, perhatian harus diberikan kepada arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang difahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al Qur’an sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan sikap yang pasti terhadap hidup dan memenuhi suatu pandangan dunia yang kongkrit (Rahman, 1984 : 6). Jika dua momen gerakan ganda ini dapat dicapai, menurut Rahman, perintah-perintah Al-Qur’an akan hidup dan efektif kembali (Ibid) Metode penafsiran yang ditawarkan Rahman itulah yang disebutnya sebagai prosedur ijtihad. Dalam metode tersebut Rahman telah mengasimilasi dan mengkolaborasi secara sistematis pandangan yuridis Maliki dan Syathibi tentang betapa mendesaknya memahami Al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif ke dalam gerakan pertama dari metodenya. Kedua, memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis dan holistik. Disiplin ilmu-ilmu Islam itu meliputi: Teologi, hukum etika, ilmu-ilmu sosial dan filsafat (Rahman, op.cit : 20) d. Pendidik (Mu’allim) Untuk mendapatkan kualitas pendidik seperti itu di lembaga-lembaga pendidikan Islam dewasa ini sangat sulit sekali. Hal ini dibuktikan Rahman, melalui pengamatannya terhadap perkembangan pendidikan Islam di beberapa negara Islam. Ia melihat bahwa pendidik yang berkualitas dan profesional serta memiliki pikiran-pikiran yang kreatif dan terpadu yang mampu menafsirkan hal-hal yang lama dalam bahasa yang baru sejauh menyangkut substansi dan menjadikan hal-hal yang baru sebagai alat yang berguna untuk idealita masih sulit ditemukan pada masa modern. Masalah kelangkaan tenaga pendidik seperti ini telah melanda hampir semua negara Islam. Dalam mengatasi kelangkaan tenaga pendidik seperti itu, Rahman menawarkan beberapa gagasan: Pertama, merekrut dan mempersiapkan anak didik yang memiliki bakat-bakat terbaik dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap lapangan agama (Islam). Anak didik seperti ini harus dibina dan diberikan insentif yang memadai untuk membantu memnuhi keperluannya dalam peningkatan karir intelektual mereka (Ibid). Apabila hal ini tidak segera dilakukan maka upaya untuk menciptakan pendidik yang berkualitas tidak akan terwujud. Sebab hampir sebagian besar pelajar yang memasuki lapangan pendidikan agama adalah mereka yang gagal memasuki karir-karir yang lebih basah. Kedua, mengangkat lulusan mdrasah yang relatif cerdas atau menunjuk sarjana-sarjana modern yang telah memperoleh gelar doktor di universitas-universitas Barat dan telah berada di lembaga-lembaga keilmuan tinggi sebagai guru besar-guru besar bidang studi bahasa Arab, bahasa Persi, dan sejarah Islam. Ketiga, para pendidik harus dilatih di pusat-puast studi keislaman di luar negeri khususnya ke Barat. Hal ini pernah direalisasikan Rahman, sewaktu ia menjabat direktur Institut Pusat Penelitian Islam. Atas gagasan Rahman ini, Institut yang dipimpinnya berhasil menerbitkan jurnal berkala ilmiah yang berbobot yaitu Islamic Studies. Melalui jurnal inilah para anggota institut mulai menyumbangkan karya riset nereka yang bermutu, di samping beberapa buku dan suntingan-suntingan dari naskah-naskah klasik. Kasus institut ini melukiskan telah lahirnya kesarjanaan yang kreatif dan bertujuan. Gagasan Rahman itu juga pernah diterapkan di Indonesia melalui pengiriman pendidik atau tenaga pengajar IAIN yang potensial untuk melanjutkan studinya ke universitas di negeri Barat yang mempunyai pusat-pusat studi Islam. Awal dari dampak positif pengiriman pengiriman pendidik ke luar negeri itu memang mulai terasa antara lain seperti terlaksananya pembaruan sistem, metode dan teknik di bidang pengajaran dan penyempurnaan struktur kelembagaan serta susunan kurikulum. Keempat, mengangkat beberapa lulusan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa Inggris dan mencoba melatih mereka dalam teknik riset modern dan sebaliknya menarik para lulusan universitas bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan memberi meeka pelajaran bahasa Arab dan disiplin-disiplin Islam klasik seperti Hadis, dan yiurisprudensi Islam. Di sini tampak Rahman ingin memberikan bekal ilmu pengetahuan secara terpadu baik kepada para lulusan madrasah maupun kepada mereka yang lulusan universitas. Sehingga melalui upayanya ini akan lahir pendidik-pendidik yang kreatif dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap Islam. Kelima, menggiatkan para pendidik untuk melahirkan karya-karya keislaman secara kreatif dan memiliki tujuan. Di samping menlulis karya-karya tentang sejarah, filsafat, seni, juga harus mengkonsentrasikannya kembali kepada pemikiran Islam. Di samping itu para pendidik juga harus bersunggguh-sungguh dalam mengadakan penelitian dan berusaha untu menerbitkan karyanya tersebut. Bagi mereka yang memiliki karya yang bagus harus diberi penghargaan antara lain dengan meningkatkan gajinya. KESIMPULAN Berdasarkan penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kemunculan gagasan Rahman dilatarbelakangi oleh pengamatanya terhadap perkembangan pendidikan Islam di era modern di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Indonesia, Mesir dan Pakistan. Menurut Rahman Pendidikan islam di negara-negara tersebut masih dihadapkan kepada beberapa problema pendidikan yang antara laian berkaitan dengan; (1) Tujuan Pendidikan tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. (2) Dikotomi sistem pendidikan (3) Rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang memiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam (4) Sulitnya menemukan pendidik yang berkualitas dan professional serta memiliki pikiran yang kreatif dan terpadu, dan (5) minimnya buku-buku yang tersedia di perpustakaan. 2. Kontribusi terhadap upaya modernisasi pendidikan Islam meliputi lima bidang, yaitu (1) tujuan pendidikan (2) dikotomi sistem pendidikan (3) anak didik (4) pendidik (mu’alim), dan (5) peralatan pendidikan. Beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat telah menyebabkan tujuan pendidikan Islam tidak diarahkan kepada tujuan yang positif. Tujuan pendidikan Islam hanya berorientasi kepada kehidupan akherat semata dan bersifat defensif terhadap ilmu pengetahuan. Untuk mengatasi ini menurut Rahman ada tiga usaha yang harus dilakukan : (a) mengorientasikan tujuan Pendidikan Islam kepada kehidupan dunia dan akherat sekaligus dan bersumber dari al-Qur’an. (b) menghilangkan beban psikologis umat Islam dalam menghadapi Barat, dan (c) menghilangkan sikap negatif terhadap ilmu pengetahuan. Adanya dikotomi sistem pendidikan Islam telah menyebabkan rendahnya kualitas anak didik, munculnya pribadi-pribadi yang pecah dan tidak lahirnya anak didik yang amemiliki komitmen spiritual dan intelektual yang mendalam terhadap Islam. Untuk mengatasi masalah ini ada empat buah usaha yang harus dilakukan ; (a) memberikan pelajaran al-Qur’an dan metode tafsir sistematis, sehingga memungkinkan al-Qur’an tidak saja berfungsi sebagai sumber inspirasi moral tetapi juga tidak dijadikan sebagai rujukan sentral bagi pemecahan persoalan yang muncul ke permukaan, (b) memberikan materi disiplin ilmu-ilmu Islam secara historis, kritis, dan menyelurruh, sehingga melalui upaya ini dapatmengintegrasikan pikiran-pikiran itu ke dalam konsep Islam yang utuh dan terpadu, (c) mengintensifkan penguasaan bahasa asing seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris disamping bahasa nasional (d) menumbuhkan sikap toleran terhadap perbedaan pendapat. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin, 1995, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Educational Theory : A Qur’anic Outlook, terj. M. Arifin dan Zainuddin, 1990, Teori-teori Pndidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta : Rineka Cipta Achmad, Amrullah, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Muslih Usa (ed.), 1991, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya Adams, Charles C., 1968, Islam and Modernity in Egypt, New York : Russel Amal, Taufiq Adnan, 1987, Islam Tantangan Modernitas : Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung : Mizan ______, (ed), 1987, Motode dan Alternatif Neo Modernisme Islam, Bandung : Mizan ______, dan Fauzi, Ihsan Ali, Fazlur Rahman Sang Sarjana Sang Pemikir, Jakarta : LSAF, 1988 Anderson, Norman, 1976, Law Reform in The Muslim World, London : University of London Anshari, Endang Saefuddin, “Dunia Islam Masa Lalu dan Kini Menyongsong Abad XV Hijrah”, dalam Rdan Iqbal Emsyarif Saimina (ed.), tt., Kebangkitan Islam dalam Pembaharuan, Jakarta : Bumi Aksara Bawani, Imam, 1987, Segi-Segi Pendidikan Islam, Surabaya : Ihklas B. Suryosubroto, 1983, Beberapa Aspek dasar Pendidikan, Jakarta : Bina Aksara Bakker, Anton, 1994, Metode-Metode Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia Berkes, Niyazi, 1964, The Developments of Secularism in Turkey, Montreal : McGill university Press Esposito, John L., 1984, Islam and Politics, New York : Syracuse University Press Fahmi, Asma Hasan, 1979, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang. Faruqi, Isla’il Raji, 1984, Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Pustaka. Harahap, Syahrin, Al-Qur;’an dan Sekularisasi : Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husein, Yogaykarta : Tiara Wacana Yogya. Langgulung, Hasan, 1992, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka al-Husna Ma’arif, Syafi’I, 1993, Peta Bumi Intelektualisme di Indonesia, Bandung : Mizan Madjid, Nurcholish, 1992, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina. Nasution, Harun, 1994, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang. Rahman, Fazlur, 1968, Islam, New York : Anchor Book ________, 1982, Islam and Modernity ; Transformation An Intellectual Tradition, Chicago : University of Chicago Press ________, 1983, Major Themes of The Qur’an, ter. Mahyudin, Anas, Tema-Tema Pokok al-Qur’an, Bandung : Pustaka Zuhairini dkk, 1986, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Proyek Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi IAIN
BAB I HADIS DHAIF 0leh : Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag., S.PdI, MA A. Pendahuluan. Hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam dan merupakan warisan dari Rasulullah Saw untuk menjadi pedoman dalam menata dan mengembangkan kehidupan untuk terwujudnya misi kehidupan sosial optimal. Oleh karena itu posisi hadis sebagai seorang muslim cukup penting. Maka mengingat pentingnya hadis ini sangat banyak perhatian orang-orang Islam terhadap hadis, dan hal inilah yang menjadi faktor utama para ilmuan mengadakan penelitian terhadap hadis itu sendiri.Banyak dari kalangan ilmuan muncul salah satu bidang disiplin ilmu yaitu Ulumul Hadis. Nawir Yuslem, mengutip defenisi Mahmud al-Thohha, memberi pengertian bahwa Ulumul Hadis adalah: “istilah hadis di dalam tradisi ulama hadis”. (Arabnya: Ulum al-Hadis), Ulum al-Hadis terdiri dari dua kata yaitu ulum, dan hadis, kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”. Sedangkan al-hadis di kalangan ulama hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, dari perkataan, perbuatan, takrir, atau sifat. Dengan demikian, gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadis Nabi Saw. Dan pembahasan tentang hadis dengan segala seluk beluknya. Dan salah satu objek pembahasannya adalah tentang kualitas hadis. Bicara tentang kualitas hadis, maka mayoritas ulama hadis sepakat bahwa kriteria yang menentukan mutu hadis terdiri dari lima aspek yaitu: bersambung sanadnya, keadilan dari tiap-tiap orang yang ada dalam sanad, kedhabitan para sanad, terhindar dari syudzudz dan ‘illat. Dengan melihat beberapa aspek ini maka diantara kualitas hadis itu ada yang disebut dengan dhaif, dan akan dibahas dalam makalah ini. Adapun pembahasan dalam makalah ini meliputi Pengertian Hadis Dhaif, Macam-Macam Hadis Dhaif, Kehujjahan Hadis Dhaif. B. Pengertian dan Kriteria Hadis Dhaif Secara etimologi dhaif artinya lemah dan lawannya al-qawi yaitu kuat, sedangkan secara epistemologi hadis dhaif adalah “setiap hadis yang tidak terhimpun padanya ciri-ciri hadis shahih dan tidak pula hadis hasan”. Jelasnya Ibnu al-Shalah menyebutkan sebagaimana dijelaskan dalam buku Tadrib al-Rawi, bahwa hadis dhaif secara teoritis menjadi 42 macam, al-Mannawi mengatakan mencapai 129 macam, namun yang mungkin terwujud hanya 81 macam. Kemudian ia mengatakan bahwa menguraikan keseluruhan macam-macam hadis dhaif tersebut hanya membuang-buang energi dan kurang bermanfaat. Seperti pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka hadis dhaif itu dapat diketahui melalui lima kriteria yaitu: 1. Terputus sanad hadis. 2. Diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil. 3. Diriwayatkan oleh orang yang tidak dhabit. 4. Diriwayatkan oleh orang yang tidak memiliki syuzuz, dan 5. Diriwayatkan oleh orang yang memiliki illat. Oleh karena itu, maka setiap hadis yang tidak bersambung atau terputus sanadnya, perawinya tidak adil, dan tidak dhabit serta mereka memiliki syuzuz dan ‘illat, maka hadis inilah yang tergolong hadis dhaif. Maka seperti disinggung tadi bila dilihat dari ragam macamnya ia cukup banyak. Namun menurut Ajjaj al-Khatib, berbagai macam sebab lemahnya suatu hadis pada umumnya kembali kepada dua masalah yaitu tidak tersambungnya sanad dan kedua kumpulan berbagai sebab selain tidak bersambungnya sanad. Menurut Nawir Yuslem berdasarkan kriteria di atas, maka dapat dijelaskan bahwa kedhaifan hadis dhaif disebabkan oleh dua hal pokok yaitu terputusnya sanad dan terdapatnya cacat pada diri seorang perawi atau matannya. C. Macam-macam Hadis Dha’if Berdasarkan penelitian para ulama hadis, bahwa kedha’ifan suatu hadis terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan, dan pada perawinya. dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadis kedalam beberapa hadis dha’if, yang jumlahnya sangat banyak sekali. 1. Dha’if Ditinjau dari Segi Sanad a. Hadis Mursal Hadis Mursal adalah Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) yang diriwayatkan oleh seorang tabi’i langsung dari Rasulullah saw dengan tidak menyebut nama orang yang menceritakan kepadanya. Defenisi seperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadis, hanya mereka tidak memberikan batasan antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian ulama hadis yang memberikan batasan Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadis yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadis Munqoti’. Secara etimologi, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa adalah isim maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan. Secara istilah Hadis Mursal adalah Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’i. Maksud dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i. Sebagai contoh dari Hadis Mursal ini adalah : “Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah dikeringkan.” Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya. Klasifikasi Hadis Mursal Sebagaimana iterangkan bahwa Hadis Mursal adalah hadis yang jalan sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat yang langsung menerima Hadis tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga bagian : 1) Mursal Shahabi, yaitu : Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil atauu terbelakang masuk Islamnya. Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negative. 2) Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i yang meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan Hadis langsung dari Rasulullah saw. 3) Mursal Jali, yaitu : apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) dapat diketahui jelas sekalii oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw. b. Hadis Munqati’ Kata Munqati’ adalah ism maf’ul dari inqata’a yang berarti terputus, secara istilah Hadis Munqati’ ini adalah Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan padanya seorang rawi yang tidak jelas. Macam-Macam Pengguguran (Inqita’) 1) Perawi yang meriwayatkan Hadis jelas dapat diketahui tidak sezaman hidupnya dengan guru yang memberikan Hadis padanya. 2) dengan samara-samar yang hanya diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja. Diketahuii dengan jalan lain dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam Hadis riwayat orang lain. Defenisi lain menyebutkan Hadis Munqati’ adalah Hadis yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang gmubham. Dari segi gugurnya perawi, ia sama dengan Hadis Mursal hanya saja jika Hadis Mursal dibatasi denngan gugurnya sahabat, sementara dalam Hadis Munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi bila terdapat gugurnya perawi baik diawal, ditengah ataupun diakhir pada suatu Hadis maka dia disebut dengan Hadis Munqati’. c. Hadis Mudallas Kata mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”. d. Hadis Mu’addhal Kata Mu’addhal berarti menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang misterius atau problematik. Secara bahasa menurut ilmu hadis, Hadis Mu’addhal adalah Hadis yang gugur dari sanadnya dua 0rang rawi atau lebih secara berturut-turut baik dari awal sanad, pertengahan sanad ataupun akhirnya. Hadis ini termasuk yang di mursalkan oleh tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis Munqati’. Sama dari keburukan kwalitasnya, bila kemunqoti’annya lebih dari satu tempat. e. Hadis Mu’allaq Secara bahasa Mu’allaq adalah ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung” sedangkan menurut istilah ilmu Hadis, hadis Mu’allaq adalah Sesuatu yang telah gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut dari awal sanad baik gugurnya tetap ataupun tidak. Dalam literatur lain disebutkan Hadis Mu’allaq adalah Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”. 2. Dha’if ditinjau dari Segi Cacatnya Perawi Dari segi diterima atau tidaknya suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis, pada prinsipnya terbagi kepada dua bagian yaitu Hadis maqbul yang mana Hadis maqbul ini adalah Hadis Shahih dan Hadis Hasan sementara yang kedua adalah Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan segala macamnya. Karena cacat perawi dalam Hadis Dha’if ini baik dari segi matan maupun sanadnya disebabkan oleh keadilan perawi, agamanya tau hafalannya tau keelitiannya, selain itu juga karena terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan atau yang saling tidak bertemu antara sau dengan yang lain. Dalam hal ini Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi perawinya terbagi bermacam-macam yaitu : a. Hadis Mudha’af. Yaitu Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagai ahli Hadis menilainya mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain mengatakannya kuat namun penilaian kedhaifannya lebih kuat. Ibnu al-Jaui merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan terhadap Hadis jenis ini. b. Hadis Matruk Hadis matruk adalah Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Misalnya Hadis Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy. Yang dimaksud dengnan rawi tertuduh dusta yaitu seorang rawi yang dalam pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia berdusta dalam membuat hadis. Adapun orang yang berdusta diluar pembuatan Hadis ditolak periwayatannya. c. Hadis Munkar. Hadis Munkar adalah Hadis yang perawinya sangat cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama Hadis memberikan defenisi yang bervariasi tentang Hadis Munkar ini. Diantaranya ada dua defenisi yang selalu digunakan, yaitu : 1) Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lali dan terlihat kefasikannya secara nyata. 2) Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang Hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh. d. Hadis Mu’allal Hadis Muallal adalah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya. e. Hadis Mudraj. Idraj berarti memasukkan Sesautu kepada suatu yang lainnya dan menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain Hadis mudraj adalah Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari bagian Hadis tersebut. Hadis mudraj ada dua yaitu : 1) Mudraj Isnad : “seorang peerawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah Hadis disebabkan oleh suatu perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang diucapkannya adalah juga bagian dari Hadis tersebut. 2) Mudraj Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu Hadis yang bukan merupakan matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya ( yaitu antara matan Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan suatu Hadis, sehingga diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw. f. Hadis Maqlub Hadis Maqlub adalah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya. Dengan kata lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam hal ini jelas bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat dijadikan dalil suatu hukum. g. Hadis Mudhtharib Hadis Mudhtharib adalah Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berbeda yang masing-masing sama kuat. h. Hadis Mushahaf yaitu Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya. i. Hadis Syaz yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu perawi yang dhabit, adil dan sempurna kebaikannya namun Hadis ini berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit shingga hadis ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz. D. Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis Dha’if Ada tiga pendapat ulama dalam tentang pengamalan dan penggunaan Hadis Dha’if : 1. Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail maupun ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama termasuk Imam Bukhari dan Muslim. 2. Hadis Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if dibandingkan ra’yu seseorang. 3. Hadis Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau sejenis dengan memenuhi kriteria yang ada. Ibnu Hajar membaginya kepada kriteria yaitu: a. Kedhaifannyaa tidak terlalu b. Hadis Dha’if yang termasuk cakupan Hadis pokok yang bisa diamalkan. c. Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat tapi sekedar hati-hati. . Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah, dan syaratnya sebagai berikut: 1. Kandungan hadis tersebut berkenaan dengan kisah, nasehat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat Alqur’an, hukum halal, hukum haram, dan semacamnya. 2. Kedhaifan hadis yang bersangkutan tidak parah. 3. Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dhaif tersebut. 4. Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadis dhaif tersebut, tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian (ibtiyath). Dilihat dari segi syarat-syarat yang demikian ketat itu, maka dapatlah dinyatakan bahwa sesungguhnya ulama berprinsip menolak hadis dijadikan sebagai hujjah (karena agama berkaitan dengan kayakinan, dan keyakinan tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah atau meragukan). BAB II HADIS MAUDHU’ A. Pendahuluan. Meski begitu besarnya fungsi dan kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran al-Karim, namun seperti dicatat dalam sejarah, ternyata penulisan dan kodifikasi Hadis secara resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu lamanya rentang antara waktu sejak meninggalnya Rasulullah saw. hingga waktu kodifikasi Hadis. Dalam perjalanan sejarah Hadis, banyak muncul Hadis-Hadis palsu yang diterbitkan oleh beberapa golongan untuk tujuan tertentu baik politik seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah, atau ekonomi seperti pemalsuan hadis yang menyatakan bahwa melombakan merpati adalah sesuatu hal yang disuruh Rasul, fanatisme terhadap sebuah ajaran atau golongan seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasul telah memberikan kepemimpinan kepada Ali. Makalah ini akan menguraikan tentang Hadis palsu dan beberapa kajian yang berkaitan dengannya B. Pengertian Hadis Maudhu’ Dari segi bahasa, maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang berarti mengada-ada atau membuat-buat. Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti mengada-adakan Hadis atau memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’ berarti Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mengerjakan, berbuat dan memutuskannya. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Hadis maudhu’ berarti kebohongan yang dibuat dan diciptakan serta disandarkan kepada Rasulullah saw. Dari beberapa defenisi di atas dapat terlihat adanya beberapa kesamaan unsur tentang tanda adanya pemalsuan Hadis, yaitu: 1. Adanya unsur kesengajaan. 2. Ada unsur kebohongan atau ketidaksesuaian dengan fakta. 3. Ada penisbahan kepada rasulullah saw. Berupa ucapan perbuatan atau pengakuan. C. Sejarah dan Perkembangan Hadis Maudhu’. Ada perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan Hadis. Di antara perbedaan itu ada yang berpendapat bahwa pada zaman Rasulullah saw. belum terjadi pemalusan Hadis. Pendapat ini diutarakan oleh Abdul Wahhab, namun meski demikian, ia juga tidak menolak adanya kemungkinan unsur pemalsuan terhadap Rasulullah saw. dan ajaran Islam yang dilatari berbagai faktor. Beberapa faktor yang turut melatari hal tersebut, menurut Abdul Wahhab, adalah adanya anggapan bahwa Rasulullah saw. tidak melarang bahkan memberi kesempatan bila dipandang dapat memberikan manfaat positif bagi kemajuan ummat Islam. Pemalsuan tersebut bisa berupa nasehat agama. Faktor yang lain adalah adanya kecerobohan dalam meriwayatkan Hadis oleh perawi-perawi yang lemah sehingga timbul kesalahan dalam berbagai bentuk. Seperti riwayat yang sebenarnya bukan berasal dari Rasulullah saw., akan tetapi karena kesilapan, riwayat tersebut disandarkan kepada Rasulullah saw. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pemalsuan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. pendapat ini seperti yang diajukan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin. Salahuddin al-Adabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadis yang sifatnya melakukan kebohongan terhadap Rasulullah saw. dan berhubungan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. yang dilakukan oleh orang-orang munafiq. Sedangkan pemalsuan yang Hadis yang berkenaan dengan masalah agama belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Alasan yang dikemukakan oleh al-Adabi adalah Hadis yang diriwayatkan oleh at-Thahawi (w. 321 H) dan at-Tabrani (w. 360 H). Riwayat itu menyatakan bahwa pada masa Rasulullah saw., adalah seseorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. orang tersebut mengaku telah diberi kuasa oleh Rasulullah saw. untuk menyelesaikan suatu masalah pada kelompok masyarakat tertentu di sekitar Madinah. Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin, ia beralasan dengan adanya Hadis Rasulullah saw. yang bisa dimaknai dengan adanya kemungkinan terjadinya pembohongan di zaman Nabi. Hadis yang dimaksud adalah: و من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka. Hadis ini meskipun dapat dimaknai sebagai bentuk peringatan agar tidak terjadi pembohongan atas nabi, tapi oleh Ahmad Amin, Hadis ini dimaknai telah ada pembohongan pada masa tersebut. Kedua pendapat tersebut di atas, nampaknya memerlukan pengujian, terutama dari segi historis yang dapat mendukungnya yang juga dapat mencari tahu siapa dan kapan terjadinya pembohongan tersebut. selain dari itu, dari segi matan riwayat yang dikemukakan oleh al-Adabi yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan sahabat beliau untuk membunuh orang yang telah berbohong dan apabila yang ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. memerintahkan jasad orang tersebut dibakar. Bukankah ini sesuatu yang tidak berguna dan bertentangan dengan ajaran Islam?. Dari segi sanad Hadis yang dipakai oleh al-Adabi telah mendapat penilaian dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang telah mengatakan bahwa ada nama sahabat yang dinilainya tidak sahih. Selain dari itu, riwayat tersebut merupakan riwayat tambahan dari Hadis mutawatir yang dijadikan alasan oleh Ahmad Amin. Pendapat ketiga adalah pemalsuan menurut kebanyakan ulama. Ajjaj al-Khatib menegaskan bahwa pemalsuan tidak terjadi dari sahabat dan dari para tabi’in besar, dan kalaupun terjadi hanya muncul dari sebagian orang jahil dari kalangan tabiin. Muhammad bin Iraq al-Kinani mengatakan bahwa pada masa pertengahan masa tabi’in yakni awal abad 11 H, terdapat kelompok yang lemah dan banyak sudah memarfu’kan yang mauquf dan meriwayatkan yang mursal. Pada masa tabi’in kecil (150 H), muncul kelompok-kelompok politik, unsur-unsur filsafat, keyakinan agama, fanatisme, kebohongan dan kesalahan. Kebanyakan ulama Hadis berpendapat bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pertamakalinya setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang kontra dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terpecahnya ummat Islam dan muncul golongan-golongan kelompok agama dan politik yang berbeda. Antar kelompok yang ada saling menguatkan kelompoknya dengan Alquran al-Karim dan sunnah. Tentu saja tidak setiap golongan menguatkan kelompoknya dengan menggunakan Alquran al-Karim dan sunnah, maka sebagian mencoba mentakwilkan Alquran al-Karim dan menafsirkan Hadis dengan cara yang tidak benar. Ketika sebuah ayat maupun Hadis tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuannya (karena banyaknya orang yang menghafal Alquran al-Karim dan sunnah) maka mereka mencoba berdalih dengan membuat-buat Hadis dan kebohongan atas Rasulullah saw. Maka muncullah Hadis-Hadis yang berkenaan dengan khalifah yang empat dan pemimpin masing-masing kelompok. Demikian juga halnya dengan aliran-aliran politik, agama dan lainnya. Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting tentang berkembangnya pemalsuan Hadis: 1. Pemalsuan yang dipandang terjadi pada masa Rasulullah saw. Seperti yang dikatakan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin, tidak didukung dengan fakta yang kuat. 2. Pada masa Rasulullah saw. Dan sahabat terdapat pula periwayatan ajaran agama Islam sebagai nasehat yang dilakukan secara cermat yang dimaknai bukan sebagai pemalsuan. 3. Pemalsuan muncul berawal dari kecerobohan oleh perawi-perawi yang lemah dengan cara: a. Memarfu’kan Hadis mauquf b. Menyambungkan Hadis mursal. Hal ini terjadi pada pertengahan masa tabi’in yang berlanjut dengan kebohongan dalam mentakwilkan ayat dan Hadis hingga berujung kepada pemalsuan Hadis. 4. Kebanyakan ulama mengindikasikan terjadinya pemalsuan setelah tahun 40 H yang dipicu oleh persoalan politik, filsafat dan faham keagamaan. D. Faktor-Faktor Munculnya Hadis Maudhu’. Beberapa faktor yang disebut oleh para ahli yang melatari munculnya Hadis maudhu’, di antaranya adalah: 1. Politik. Setelah Utsman bin Affan wafat, timbul perpecahan di kalangan ummat Islam dengan lahir pendukung masing-masing kelompok yang berseteru, seperti kelompok pendukung Ali, pendukung Mu’awiyah dan kelompok ketiga yakni Khawarij yang muncul setelah terjadinya perang Shiffin. Dari tiga kelompok tersebut, Syi’ahlah yang pertamakali melakukan pemalsuan. Hadis yang dibuat oleh kelompok Syi’ah adalah: على خير البشر من شك فيه كفر Ali adalah orang terbaik, barang siapa yang meragukannya maka ia telah kafir. Sedangkan Hadis yang dibuat oleh kelompok Mu’awiyah adalah: ألا صفاء عند الله ثلاثة أنا و جبريل و معاوية Ingatlah! Yang suci menurut Allah swt. hanya tiga, saya, Jibril dan Mu’awiyah. Sementara kelompok Khawarij tidak membuat Hadis yang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa berbohong adalah dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir. 2. Musuh Islam (Zindiq). Di antara nama-nama orang-orang zindiq yang memalsukan Hadis adalah Muhammad ibnu Said al-Samiy. Dia meriwayatkan Hadis yang diakuinya berasal dari Humaid dari Anas dari Rasulullah saw. berbunyi: أنا خاتم النبيين لا نبي بعدى إلا أن يشاء الله Aku adalah penutup para nabi-nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah swt. menghendakinya. Tokoh lainnya adalah Abdul Karim ibnu al-Auza’ yang telah memalsukan sebanyak 4000 Hadis yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Mereka memalsukan Hadis untuk tujuan mengkaburkan dan menghilangkan kemurnian agama dalam pandangan ahli fikir dan ilmu. 3. Fanatisme. Para pendukung bahasa Persia menciptakan Hadis yang menyatakan kemuliaan bahasa tersebut, seperti: إن كلام الذى حول العرش فارسى Sesungguhnya permbicaraan di sekitar Arsy adalah menggunakan bahasa Persia. Sementara kelompok yang menantangnya membuat Hadis yang lain seperti: أبغض كلام عند الله فارسى Pembicaraan yang paling dibenci oleh Allah swt. adalah bahasa Persia. 4. Membuat cerita. Salah satu tujuan menyampaikan sesuatu melalui cerita adalah bagaimana agar menarik perhatian atau untuk memperindah hal-hal yang tidak semestinya indah agar pendengarnya merasa tertarik. Pemalsuan yang terkait dengan hal tersebut adalah: من قال لا إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طير أنقاره من ذهب و ريشه من مرجان Barang siapa mengatakan “tiada tuhan selain Allah, maka Allah akan menciptakan dari setiap kata-kata tersebut seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan. 5. Perbedaan pendapat. Seperti: كل من فى السماوات و الأرض و ما بينهما مخلوق غير القرأن Setiap sesuatu yang ada di langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya adalah makhluk kecuali Alquran 6. Semangat yang berlebihan untuk berbuat kebaikan yang tidak dilandasi permasalahan agama. Ada anggapan di kalangan sebagian orang-orang shaleh dan para zahid bahwa untuk tujuan targhib dan tarhib maka pemalsuan dengan tujuan tersebut tidak masuk dalam kategori orang-orang yang dilaknat nabi dalam Hadis “barang siapa berbohong atasku dengan sengaja......”, 7. Untuk mendekatkan diri kepada penguasa. Ghayyas bin Ibrahim telah membuat kebohongan melalui Hadis ketika ia memasuki istana al-Mahdi. Pada saat itu ia melihat al-Mahdi sedang mengadu burung merpati, maka ia mengucapkan memalsukan sebuah Hadis dengan menambahi matannya. Selain dari hal-hal tersebut di atas, masih ada beberapa sebab lain yang mendorong munculnya pemalsuan, seperti demi memuji sebuah usaha atau pekerjaan tertentu. E. Ciri-Ciri Hadis Maudhu’ 1. Ciri-Ciri Pada Sanad. a. Berdasarkan pengakuan dari orang yang memalsukan Hadis. Terdapat beberapa nama pemalsu Hadis yang mengakui perbuatannya, di antaranya adalah Abu Isma Nuh ibnu Abi Maryam tentang keutamaan surat-surat Alquran al-Karim. Abu Karim al-Auza’ yang memalsukan Hadis halal-haram. Begitu juga dengan Abu Yazis yang mengaku telah memalsukan Hadis dan menyatakan bertobat dan minta ampun. b. Tanda-tanda yang bermakna pengakuan. Misalnya seorang rawi yang mengaku menerima Hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia mengatakan menerima Hadis dari seorang guru, padahal guru tersebut telah meninggal dunia sebelum ia lahir, seperti Ma’mun Ibnu Ahmad al-Saramiy yang mengatakan kepada Ibnu Hibban bahwa ia pernah mendengar Hadis dari Hisyam dan Hammar, Ibnu Hibbanpun bertanya kapan ia ke Syam,yang dijawab oleh Ma’mun Ibnu Ahmad al-Sarami bahwa ia ke Syam pada tahun 250 H. , padahal Hisyam meninggal dunia pada tahun 254 H. c. Terkesan dibuat-buat berdasarkan kejadiannya. 2. Ciri-Ciri Pada Matan. Menelusuri pemalsuan Hadis secara akurat melalui matannya dapat dilakukan dengan menganalisa matan tersebut. Unsur-unsur yang sering terdapat pada matan Hadis maudhu’ adalah: a. Kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya. b. Kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera. c. Mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat. d. Terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut. e. Hal-hal atau berita yang tidak masuk akal. f. Bertentangan dengan nash Alquran al-Karim. g. Bertentangan dengan Hadis mutawatir. BAB III KESIMPULAN Dari uraian di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu: Hadis dhaif adalah “setiap hadis yang tidak terhimpun padanya ciri-ciri hadis shahih dan tidak pula hadis hasan. Hadis dhaif itu dapat diketahui melalui lima kriteria yaitu: a. Terputus sanad hadis. b. Diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil. c. Diriwayatkan oleh orang yang tidak dhabit. d. Diriwayatkan oleh orang yang tidak memiliki syuzuz, dan e. Diriwayatkan oleh orang yang memiliki illat. Berdasarkan penelitian para ulama hadis, bahwa kedha’ifan suatu hadis terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan, dan pada perowinya. dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadis kedalam beberapa hadis dha’if, yang jumlahnya sangat banyak sekali. Pembagian hadis dhaif: 1. Dha’if Ditinjau dari Segi Sanad 2. Dha’if Ditinjau dari Segi Sandaranya 3. Dha’if Ditinjau dari Segi Cacatnya Perawi Hadis dhaif tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum maupun untuk penetapan keutamaan amal. Menurut mereka, dasar penjelasan agama tidak dapat mengacu kepada hadis dhaif. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah, dan syaratnya sebagai berikut: • Kandungan hadis tersebut berkenaan dengan kisah, nasehat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat Alqur’an, hukum halal, hukum haram, dan semacamnya. • Kedhaifan hadis yang bersangkutan tidak parah. • Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dhaif tersebut. • Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadis dhaif tersebut. Hadis maudhu’ adalah Hadis yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah saw. ada beberapa faktor, sebab dan tujuan yang mendorong seseorang memalsukan Hadis, seperti: 1. Untuk tujuan politik. 2. Fanatisme. 3. Ekonomi. 4. Dan sebagainya. Ada beberapa cara untuk mengetahui apakah sebuah Hadis palsu atau tidak, baik dengan melihat ciri-ciri pada sanad ataupun matan. Adapun ciri-ciri pada sanad adalah: 1. Adanya pengakuan seorang rawi bahwa ia memalsukan Hadis. 2. Terdapat hal-hal yang menjukkan bahwa seorang rawi memalsukan Hadis. 3. Terkesan dibuat-buat. Sedangkan ciri-ciri pada matan adalah: 1. Kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya. 2. Kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera. 3. Mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat. 4. Terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut. 5. Hal-hal atau berita yang tidak masuk akal. 6. Bertentangan dengan nash Alquran al-Karim atau Hadis mutawatir. DAFTAR KEPUSTAKAAN Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahkan oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Al-Khatib, Ajjaj. as-Sunnah Qabla at-Tadwin, Damasqus: Dar al-Fikr, 1981. Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis Ulumul wa Mustalahahu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989. Al-Kinani. Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981. As-Shidqie, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. As-Suyuti. Tadrib al-Rawi, Madinah: Maktabah Ilmiah, 1972. At-Thahhan, Mahmud. Taisir Mushtalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979. Balig, Izzudin. Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunnah Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin, Beirut: Daar Pikr, tt. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Khadijah, HM.Kifrawi, Azhar, Ulumul Hadis, Medan : PT.Perdana Mulya Sarana, 2011 Ma’luf, Louis. al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar Masyriq, 1986. Mas’udi, Hafiz Hasan. Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis, Surabaya: Ahmad Nabni, tt. Rahman, Fathur. Ikhisar Musthalahul Hadis, Bandung : Al-Ma’arif, 1991. Wahid, Ramli Abd. Studi Ilmu Hadis, Medan: PP2IK, 2003. Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis, Jakarta: Mutia Sumber Widya, 2001. . Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1966.
George A. Makdisi, The Rise of Humanisme By : Dr.Irwandi Sihombing, S.Ag., S.PdI, MA A. Pendahuluan The rise of humanisme merupakan karya George Abraham Maksidi (1920- 2002) seorang Profesor Emeritus Arab dan Study Islam di University of Pennsylvania. Beliau lahir I Detroit, Michigan Tahun 1920 dan meninggal pada hari Jum’at, 6 September 2002 di Amerika Serikat. Karirnya dimulai di Amerika Serikat dan Libanon. Makdisi mengajar Pendidikan Pasca Sarjana di Prancis dan memperoleh gelar Doctevres- Letters di Sorbone Tahun 1964. Ia mengajar di kedua Universitas Michigan dan Harvard sebelum ke University of Pennsyvania sebagai Guru Besar Arab pada Tahun 1973. Dia terus mengajar Study Arab dan Islam hingga pensiun pada tahun 1990. Selama periode itu, Ia menjabat sebagai Ketua Departemen Study Oriental dan mengadakan serangkaian konferensi dengan rekan Akademisnya di Eropa yang ditujukan untuk menyatukan Penelitian Amerika dan Eropa di Dunia Arab- Islam dan Bizantium selama Perode abad pertengahan. Makdisi umumnya diakui pada skala seluruh dunia sebagai salah satu Arabist terbesar dan Islamicist dari generasinya. Ketertarikannya yang terbesar adalah dalam Study teks- teks Arab dari zaman klasik besar pemikiran Islam, dan itu juga merupakan focus dari ajarannya. Jumlah besar Mahasiswa dibedakan yang memegang posisi Akademis di Amerika Serikat dan Eropa menjadi saksi Inspirasi bahwa contoh ilmiahnya diberikan begitu saja. Publikasi sendiri Makdisi mulai dengan berfokus pada lingkungan Intelektual dimana kontroveresi teologis dibahas dalam masyarakat muslim dan khususnya pada karya- karya ulama besar. Makdisi memberikan kontribubsi sejumlah karya sangat penting diantaranya The Rise of Humanisme (1990). B. Argumen Pokok Buku Tulisan ini membahas tentang paradigma pendidikan Islam The rise of humanisme.Islam pada kejayaannya menjadi pusat kajian berbagai disiplin ilmu, hal ini terbukti dengan bermunculannya para ilmuan Muslim.Tetapi dengan berjalannya waktu intlektualisme Islam itu mulai redup seiring dengan pemahaman dan budaya taqlid.Padahal al-Qur’an banyak memberikan isyarat agar mengkaji semua disiplin ilmu, tidak terbatas ilmu-ilmu agama saja tetapi juga ilmu-ilmu umum.Hal ini bisa dilihat dari ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk mengkaji alam ini.Paradigma Pendidikan Islam yang mengarah kepada pengkajian yang konprehensif baik ilmu pengetahuan agama maupun umum adalah sebagai paradigma pendidikan Islam humanisme atau memanusiakan manusia sesuai dengan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Lembaga Pendidikan Islam berada dibawah kekuasaan kaum tradisionalis, berarti hanya ada dua jalan yang terbuka. Pembahasan tentang pendidikan Islam ini dimulai pada periode Al- Qodiri (Abad ke 8- 11). Diakhir abad ini, muncul mazhab Hanafi, Syafi’i, Mu’tazilah, Syiah dan Sunni. Dengan adanya Mahzab- mahzab ini akhirnya terlibat dalam dialog intelektual yang pada akhirnya mempengaruhi pemikiran Islam dan lembaga- lembaga Pendidikan Islam. Perbedaan pendapat tentang kajian Kalam dan Ilmu Pengetahuan sebagai bagian dari Aqidah, membedakannya dari teologi, filsufis Kalam. Karena itulah kajian kalam dilarang diajarkan dan dimasukkan kedalam kurikulum perguruan-perguruan tinggi hukum khususnya disekolah- sekolah yang di bangun oleh lembaga waqaf. Seorang tokoh ahli Fiqh dan guru besar Iraq (Bagdad) pemimpin terakhir mahzab Syafi’i menjulukinya sebagai ahli Fiqh tersukses di zamannya dan banyak murid- muridnya sukses di berbagai penjuru dunia. Masuknya berbagai filsufis dalam pendidikan Islam pada akhir abad ke-10 dan diawal abad ke- 11 dan membuat geram seorang ahli ushul fiqh tradisional. Untuk mengantisipasi serangan kaum rasionalis yang mungkin terulang, kaum tradisional mulai membangun benteng pertahanan. Untuk membendung arus pemikiran rasionalis, menahan laju perkembangannya dan menetralisir efeknya, mendirikan lembaga- lembaga pendidikan. Mereka mendirikan sejumlah Perguruan tinggi hukum yang menyatu dengan Mesjid. Seperti lembaga- lembaga pendidikan agama lainnya, perguruan- perguruan tinggi itu didirikan dengan dana waqaf. Satu bentuk pemberian ( shidqah) yang kekal dalam Islam. Dalam kapasitasnya sebagai ahli fiqh, mereka melakukan pengenalan atas pendayagunaan harta waqaf. Lahirnya sekolah- sekolah hukum sebenarnya mempresentasekan kelahiran mazhab- mazhab hukum dalam Islam. Pembahasan tentang mazhab tersebut akan dikemukakan setelah mengupas kontroversi diantara para ahli keIslaman seputar keberadaan mazhab- mazhab hukum pada masa Islam Klasik. Orang yang pertama kali membicarakan mazhab pada masa Islam klasik adalah Louis Massiqnom dalm sebuah artikel yang diterbitkan pada Tahun 1920. Pada abad ke- 11 perkembangan berdirinya sejumlah lembaga baru perguruan tinggi dengan struktur kepengurusan yang terbagi jelas, yang memiliki tingkatan dan fungsi yang berbeda- beda. Banyaknya perguruan tinggi Islam dibidang hukum seperti di Iraq, Madinah, Basrah dan Kufah. Pada abad ini juga merupakan periode puncak profesionalisasi pendidikan mulai dari tingkat pemula berlanjut ke tingkat menengah hingga tingkat lanjutan. Diagram perbandingan menunjukkan tiga tingkatan yang terdapat pada pendidikan tinggi dan aliran pemikiran di dunia Islam dan di dunia barat Kristen. Pendidikan tinggi Islam yang terkenal pada abad pertengahan adalah : Islam Prancis Inggris 1. Mutafaqih Escolatre Scholar 2. Shahih Bachelier Fellow 3. Mufti/ Mudarris Magister/ Maitre Magister/ Master Para Sejarawan dari berbagai perguruan tinggi dan Universitas barat pada abad pertengahan tak meragukan bahwa gerakan Universitas dan Perguruan Tinggi merupakan gerakan aliran pemikiran. Disisi lain, munculnya pertanyaan tentang apakah perguruan- perguruan tinggi Islam baik yang di mesjid atau di madrasah juga merupakan gerakan aliran pemikiran adalah karena asal- usul dan sejarah perkembangannya. Dalam Islam, praktik mengajar yang sebelumnya dilakukan oleh para ahli swasta, pada abad ke-11 berkembang menjadi institusi Madrasah yang resmi dibawah pemerintah, berbentuk perguruan tinggi yang terorganisir dengan beberapa pucuk pimpinan yang diserahi tugas dan tanggungjawab. Semua pengurus lembaga pendidikan Islam tidak hanya pimpinan dan pengajar diangkat dan diawasi pemerintah melalui seorang agen pemerintah yang disebut muhtasib ( pengawas pasar). Praktek mengajar baik sebelum maupun sesudah kemunculan madrasah dilakukan oleh para ahli non pemerintah, hal sama juga dilakukan di perguruan- perguruan tinggi Islam. Semua lembaga pendidikan baik yang didirikan di Mesjid maupun yang berbentuk madrasah tidak ada yang dikuasai oleh pemerintah. Semua lembaga pendidikan itu didirikan dan dipimpin oleh para dermawan Muslim. C. Kontribusi Terhadap Kajian Sejarah Pendidikan Islam Kontribusi pengkajian the rise of humanisme terhadap kajian sejarah pendidikan Islam mempunyai peran yang strategis sebagai sarana human investment yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik juga telah ikut serta mewarnai dan menjadi landasan moral dan etika dalam proses pemberdayaan jati diri.Pendidikan ini sangat penting karena hakekat dari pendidikan merupakan proses humanisme.Orientasi pengembangan pendidikan dalam pendidikan Islam, merupakan sejarah yang sangat penting, dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari dunia timur maupun dari dunia barat. Sebagaiman disebutkan tadi diatas bahwa tugas pemerintah hanya mengawasi gerak- gerik pimpinan lembaga, akan tetapi tidak bisa mengontrol para profesor hukum yang telah melalui semua jenjang pendidikannya disebuah mazhab hukum termasuk ketika mendapat gelar Doctor. Seseorang diangkat menjadi seorang profesor oleh pendiri madrasahn atau orang yang telah ditunjuk olehnya dalam ketetapan wakaf bukan oleh pemerintah. Bentuk- bentuk pendidikan harus menjalani latihan profesi yang keras terdiri dari empat tahun pendidikan setingkat S1, diikuti dengan periode yang lama untuk pendidikan pasca sarjana selama 10- 20 tahun. Sebelum kemunculan Perguruan Tinggi Hukum, dunia Islam telah memiliki lembaga pendidikan yang menyatu dengan mesjid. Ada dua jenis mesjid yang dibangun Sejas periode pertengahan Islam yaitu mesjid Jamik dan Surau. Mesjid Jami’ merupakan mesjid agung tempat di langsungkan sholat dan khutbah Jum’at, sedangkan Surau merupakan mesjid kecil yang tersebar diseluruh penjuru kota Islam. Dari surau- surau inilah yang kelak menjadi perguruan- perguruan tinggi Islam. Surau- surau seperti ini telah ada Sejak awal kelahiran Islam dan sekaligus berfungsi sebagai sekolah- sekolah ilmu agama dan lainnya termasuk kajian bahasa dan sastra.Madrasah merupakan satu jenis lain dari lembaga pendidikan Islam dan termasuk pendidikan yang Testua dan merupakan hasil evolusi dari Masjid sebagai lembaga pendidikan dan sebagai tempat tinggal para mahasiswa.Madrasah sebagai pendidikan Islam merupakan excellence sampai pada periode modren dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga pendidikan modren seperti universitas. Seorang penulis kronik menyebutkan bahwa pada abad ke- 10 seorang Gubernur Badr Ibn Hasanawayh (wafat 405 M/ 1015 H) yang berkuasa selama 32 tahun dibawah Dinasti Buwaihi telah membangun diseluruh daerah administrasinya 3.000 surau dengan asrama untuk pelajar disampingnya yang berasal dari luar kota. Dari perguruan tinggi surau seperti inilah al- Shiraz seorang Profesor pertama dari madrasah Nizamiyah ( abad ke- 11) menerima tawaran dari sang pendiri Perdana Menteri Nizham al- Mulk untuk mengajar disebuah lembaga baru. Meski pada perkembangannya muncul lembaga pendidikan baru yang terpisah dari Mesjid yang disebut dengan Madrasah, lembaga pendidikan di surau- surau tidak mengalami perubahan signifikan, baik dari segi kurikulum maupun dari sisi tujuan utamanya yaitu melahirkan ahli- ahli Fiqh profesional. Sebagaimana telah disinggung tadi bahwa Jenis wakaf madrasah membolehkan para pendiri perguruan tinggi, jika mereka menginginkannya untuk menguasai yayasan. Seorang muslim yang mendirikan sebuah lembaga wakaf berada dalam kapasitasnya sebagai seorang pribadi bukan sebagai pegawai pemerintah. Bahkan Madrasah Nizamiyah membatasi murid- muridnya hanya dari Mazhab Syafi’i karena sang Sultan bermazhab Hanafi maka anak- anaknya atau peminat lain dari mazhab Hanafi bisa masuk ke Madrasah itu jika mereka berpindah mazhab, ketika itu tiap Mazhab Fiqh memiliki perguruan masing- masing. Perbedaan mazhab ini berlanjt ke dalam lembaga pendidikan Islam seperti madrasah Nizamiyah di Bagdad (459 H/1069 M) sebagai simbol pelestarian sekte, mazhab dan aliran keagamaan lerngkap dengan keyakinan keagamaannya.Akibatnya, madrasah ini hanya dirancang dengan kurikulum fiqh.Jadi tujuan madrasah ini secara jelas dimaksudkan untuk memperkuat ideologi Syafi’i Asy’ari dan membendung serangan dari pihak lain. Sejarah pendidikan Islam itu dimulai Sejak abad ke- 10 yakni Madrasah Nizamiyah yang dibangun oleh Perdana Menteri Nizam Al- Mulk yang terus - menerus berkembang sampai dengan Sekarang ini. D. Penilaian Kritis Terhadap Buku Dalam buku ini telah dijelaskan bagaimana, apa, siapa dan dimana awal sejarah pendidikan Islam itu. Tokoh- tokoh penting sejarah Pendidikan Islam dalam buku The Rise Of Humanisme karangan George A. Makdisi kurang dijelaskan secara mendetail. Perkembangan Sejarah Pendidikan Islam menjadi rumit dan berbelit- belit karena dipengaruhi oleh kurangnya referensi buku. Pada buku ini ada dikutip bahwa pendidikan itu dilakukan oleh para swasta dalam pengelolaannya namun pada abad ke- 11 berkembang menjadi institusi Madrasah yang resmi dibawah kendali pemerintah. Hal ini menjelasksan bahwa sebelum pemerintah secara resmi mengelola Pendidikan Islam itu ternyata pihak swasta sudah berperan aktif dalam pengelolaan pendidikan. Dalam Sejarah Pendidikan Islam Sangat disayangkan bahwa banyak akta wakaf perguruan- perguruan tinggi atau Madrasah itu yang hilang tanpa jejak. Yang tersisa dari akta wakaf perguruan tinggi paling awal hanya bagian yang menerangkan struktur kepengurusan Yayasan saja. Pada sisi lain bahwa ternyata pada abad ke- 11 ini menjelaskan bahwa perguruan tinggi Nizamiyah di Bagdad yang bermazhab Syafi’i memiliki signifikasi tersendiri dan posisi akademis tertentu harus dipegang oleh ulama yang bermazhab Syafi’i sedangkan mazhab yang lain tidak diperbolehkan. Disini jelas bahwa terjadi kefanatikan bermazhab itu ada sehingga akan menyebabkan terjadi perpecahan atau konflik dikalangan mazhab yang satu dengan mazhab yang lain. Padahal perbedaan mazhab atau aliran merupakan Rahmatanlil’alamin. Dengan persyaratan seperti ini berarti semua bentuk Perguruan Tinggi merupakan lembaga- lembaga kalangan tradisionalis yang secara sistematis dari kalangan rasionalis.