RUNNING TEXT
Minggu, 26 Februari 2017
عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yg menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yg ma´ruf & mencegah dari yg munkar; merekalah orang-orang yg beruntung.
*Dakwah Nabi? Billisan, bilkitaba, bilhal
*Dakwah Umat? Billisan, bilkitaba, bilhal
*APA ITU FEATURE?
Sebenarnya sulit sekali membuat definisi, apa itu feature. Boleh jadi orang baru memahami apa itu feature setelah berhasil membuat tulisan yang disebut feature. Rumit memang.
Namun ada juga jurnalis yang mencoba membuat batasan. Feature, menurutnya, adalah salah satu teknik penulisan berita jurnalistik, untuk mengungkapkan secara panjang lebar dan mendalam, suatu realitas sosial yang dijumpai di tengah masyarakat. Berdasarkan batasan itu, di kalangan jurnalis Indonesia, feature disebut juga berita kisah atau berita bertutur.
Feature adalah suatu cara atau gaya penulisan sebuah berita yang ciri khasnya adalah menggunakan bahasa sederhana, dengan alur cerita yang mengalir, ringan, sehingga enak untuk dibaca.
*Macam-Macam Feature:
1.Feature yang bersifat human intrest
2.Feature menyangkut fakta sejarah
3.Feature mengisahkan tentang perjalanan
4. Feature menampilkan tokoh di bidang kehidupan tertentu.
5.Feature menjelaskn tentang keahlian tertentu.
*Apa Perlunya Dai Belajar Feature?
TEHNIK PENULISAN
1 Judul harus menarik, singkat, dan jelas.
2 Piramit biasa.
3 Isi harus diskripsi dan narasi.
4. Penutup.
Dalam sebuah berita, pengaturan fakta menjadi bagian yang utama. Berbeda dengan penulisan feature yang menggunakan teknik “berkisah”, karena seorang penulis feature pada dasarnya adalah seorang yang pandai berkisah.
Sebagian besar penulisan feature masih menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena teknik tersebut masih sangat efektif jika digunakan untuk berkomunikasi walalupun penulis harus ‘sedikit’ menerobos aturan jika ada aturan yang mengurangi atau menghalangi kelincahan tulisan.
Elemen terpenting dalam penulisan feature adalah: Deskripsi dan Narasi. Karena pada umumnya seseorang akan terkesan dengan tulisan yang mampu melukiskan isi cerita dengan gambaran yang kuat agar masuk kedalam otak pembaca, dan mungkin karena teknik itu pula yang membuat kita menjadi mengingat deskripsi cerita dalam waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun.
Lalu, bagaimana membuat deskripsi yang kuat dan hidup? Kita dapat mengubah pernyataan yang terasa kering dan kabur menjadi sebuah paragraf yang berisi ilustrasi memukau.
Contohnya: “Kota ini sangat indah”
Pernyataan tersebut dapat kita ubah menjadi sebuah paragraph hidup dengan menggambarkannya/ showing menjadi seperti ini:
Dapat kurasakan sejuknya udara kota yang terletak tak jauh dari ibu kota ini. Seketika kupandangi mereka yang sedang berlalu-lalang menjalani kegiatan sehari-hari. Tak pernah kulihat masyarakat yang saling bertegur sapa dengan ramah atau saling tersenyum di kotaku berada. Belum lagi gunung tinggi yang menjulang itu membuat seolah ada latar dibelakang kegiatan mereka, sungguh indah. Hamparan panjang sungai kecil pun menambah sejuk pengelihatanku. Entahlah, apa ini pantas disebut kota? Atau haruskah aku menyebutnya desa?
Dengan menggunakan konsep Show-Not-Tell ini maka paragraph yang terbentuk akan mengalir secara alami, kuat, dan hidup sehingga deskripsi ceritanya akan mudah dikenangoleh pembaca.
Lead
Pasti kita semua sudah mengetahui unsur dasar penulisan berita dengan teknik piramida terbalik, yaitu 5W+1H (what, who, why, when, where, dan how). Bagi penulisan untuk koran, susunan ini (piramida terbalik) adalah merupakan hal yang penting, karena jika saat harus memotong tulisan karena alas an tidak ada tempat, penulis dapat memotong langsung dari bagian belakang tulisan.
Namun, feature sendiri tidak selalu tunduk, pada ketentuan seperti itu, karena feature sendiri ditulis dengan teknik lead, isi dan ending/penutup. Lead dan penutup dalam feature adalah bagian yang sama pentingnya. Disana terdapat celetukan menggoda, sindirian dan kesimpulan. Karena itu jika harus ada pemotongan dalam tulisan feature, dalam prosesnya tidak akan semudah memangkas tulisan dengan mengambil bagian akhir seperti pada berita.
Walaupun semua bagian dianggap penting, tetap saja lead merupakan yang terpenting diantara yang penting, karena di bagian inilah nasib tulisan ditentukan atau istilah lainnya sebagai pembuka jalan. Jika gagal membuat lead dengan baik, maka sudah dapat dipastikan tulisan kita kehilangan daya pikat.
Penulis feature diwajibkan untuk pandai-pandai menggunkan kalimat dan merangkainya. Bahasa harus terjaga rapid an harus tahu bagaimana ‘cara memancing’. Jika ditanya adakah teori dalam pembuatan sebuah lead, maka saya katakan? tidak ada. Semua tergantung pengalaman dan perkembangan yang diterima sang penulis.
Batang Tubuh
Yang harus diperhatikan pertama kali adalah fokus cerita. Buatlah secara berurutan kronologis yang terjadi menggunakan kalimat-kalimat sederhana dan pendek. Di bagian ini, pendeskripsian dan anekdot hanya sebagai pemanis untuk menghindari rasa jenuh pembaca. Penulis juga harus tahu kapan harus membubuhi detil secara terperinci dan kapan tidak.
Ending
Jika dalam berita tidak terdapat penutup, berbeda dengan feature yang memiliki empat jenis penutup.
Resume Ending, yaitu merangkum kembali bagian cerita yang lepas agar mengacu kembali ke lead (intor awal).
Hornet Ending, yaitu memberikan kisah atau simpulan yang tidak terduga-duga sehingga membuat pembaca terkejut.
Climax Ending, penutup dengan jenis ini merupakan penutup dengan penyelesaian yang jelas, pasalnya ini karena penyusunan cerita sebelumnya sudah kronologis. Jaman dahulu, ada masanya setiap penulis menulis ending dengan satu kata: “Semoga.” Namun hal itu sekarang menjadi bahan tertawaan. Hal ini cukup memberikan bukti bahwa setiap masa memiliki ke-khasan masing-masing.
Ada pula penutup tanpa penyelesaian, teknik ini dapat dijadikan taktik oleh penulis agar pembaca dapat membuat kesimpulan sendiri dengan perenungan sendiri, atau masalah yang sedang dibahas memang menggantung, apakah ada kelanjutannya? We never know.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu
Franz Josef Von Hofler
Dari Jiwa yang Kosong ke Sufisme
Seutas tasbih terlihat berputar-putar di jari cemari tangan seorang lelaki bule itu. Tasbih berwara hitam itu terlihat begitu akrab dengannya.
Ketika saya menemuinya , dia langsung mengulurkan tangan dan sambil mengucapkan, salam. Memang terkesan familiar.Dan dia juga menunjukkan dompetnya yang mirip dengan tas yang saya sandang ketika itu.
Meski dalam pertemuan singkat, tetapi dia mampu bercerita banyak tentang pengalaman hidup keagamaannya, termasuk tentang kekosongan jiwanya yang pernah dialaminya.
Adalah Dr Franz Josef Von Hofler seorang wrga Negara Amerika Serikat yang mengakui seorag penganut sufisme.
Hofler yang berasal dari keluarga Khatolik itu ternyata sejak usia 14 tahun sudah mulai membaca berbagai buku keagamaan, baik Hidu, Budha, dan termasuk Islam.
“Waktu itu hati saya lagi kosong, dan ingin cari sesuatu untuk mengisi kekosongan hati ,”ucap Hofler.
Selain membaca buku-buku keislam, ternyata Hofler juga sebelum menganut Islam telah sering berdiskusi dengan orang-orang Islam yang ada di Amerika Serikat.
Buku-buku tentang keIslaman ternyata cukup menggelitik pemikirannya untuk terus mengenal agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Bagi Hofler, Islam ternyata agama yang mampu mengisi kekosongan jiwanya yang memang telah lama kosong.
Franz Josef Von Hofler ternyata sudah 20 tahun menjadi penganut Islam. Tepat pada bulan suci Ramadhan, Hofler mengucapkan dua kaimah syahadat di negerinya.
Islam ternyata mampu memberikan ketenangan jiwanya yang pernah galau.
“Sekarang saya bangga dan bahagia karena dengan zikir,shalat , baca Alquran dan hadist, kekosongan hati menjadi terpenuhi,”ucap Hofler.
Sama seperti seorang yang telah terbiasa minum kopi, kalau tidak minum akan merasa linglung. Begitu juga dengan shalat saya,kata hofler yang memperoleh Phd dari Islamic Science, Malaysia itu.
Hofler mengakui, ketika shalat seorang diri, maka menemukan sesuatu yang enak, karena bisa bertemu dengan Allah.
“Keenakan yang saya rasakan ketika bertemu dengan Allah adalah yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata,”ucap seorang Educational Consultant di University Mecigan.
Meski mengaku seoragbrasionalis daam memahamai ajaran Islam, tetapi Hofler juga bisa meneteskan air mata ketik mendengar lagu-lagu keislaman yang dibawakan Sammi Yusuf.
“Ketika mendengar lagu Sammi Yusuf, saya jadi teringat Rasul ketika berkalwat di Gua Hira,”begitu kata Hofler sambil membuka lagu itu yang ada di Handphon-nya, lagu yang berjudul Hatinya Kembali ke Allah.(rasyid)
Masjid Al Osmani, Tertua di Kota Medan
Masjid Al Osmani, Labuhan Deli, Medan (foto : flickr)
Dua puluh kilometer sebelah utara kota Medan, propinsi Sumatera Utara, di daerah Labuan, berdiri sebuah masjid tua bersejarah peninggalan kejayaan kesultanan melayu abad ke 19. Masjid bewarna kuning ini bernama Masjid Al Osmani. Karena lokasinya yang berada di daerah Labuan maka sebagian masyarakatpun menyebutnya dengan sebutan Masjid Labuan. Masjid ini adalah masjid tertua di kota Medan.
Masjid Al Osmani didominasi warna kuning, warna kebesaran kesultanan melayu. Masjid Osmani bahkan lebih dulu dibangun dibandingkan dengan masjid Raya Al Mahsun di pusat kota medan, Sultan Osman Perkasa Alam, Sultan Deli ke 7 yang pertama kali membangun masjid ini pada tahun 1854. Putra beliau yang kemudian meneruskan tahtanya membangun masjid ini menjadi sebuah bangunan permanen yang masih berdiri kokoh hingga kini.
Sejarah Masjid Al Osmani bermula ketika Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari Padang Datar, sebutan Kota Medan waktu itu, ke Kampung Alai, sebutan untuk Labuhan Deli dan membangun Istana kerajaan yang lokasinya [dulu] berada di depan Masjid Al Osmani. Pemindahan itu dilakukan setelah Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli (Raja Deli III) memecah daerah kekuasaannya menjadi empat bagian untuk empat putranya.
Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Mereka adalah :
[1] Sultan Deli ke-4 Tuanku Panglima Pasutan (berkuasa 1728-1761)
[2] Sultan Deli ke-5 Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805)
[3] Sultan Deli ke-6 Sultan Amaluddin Perkasa Alam (1805-1850)
[4] Sultan Deli ke-7 Sultan Osman Perkasa Alam (1850-1858)
[5] Sultan Deli ke-8 Sultan Mahmud Perkasa Alam (1858-1873)
[6] Sultan Deli ke-9 Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924).
Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) merupakan Sultan Deli yang pernah bertahta di dua Istana. Pada masa pemerintahannya, beliau memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar dengan dibangunnya Istana Maimun pada 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891. Diikuti pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada 1907 dan selesai pada 10 September 1909.
Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di Labuhan Deli dikuasai Belanda, yaitu ketika kerjaan itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli ke-8) terpaksa memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada 1863 untuk ditanami tembakau Deli.
Pada tahun 1854 Sultan Deli ke tujuh, Sultan Osman Perkasa Alam membangun sebuah masjid kerajaan di depan istana Kesultanan Deli di Labuhan Deli. Pembangunan masjid kesultanan dengan menggunakan bahan kayu pilihan. Kemudian pada 1870 hingga 1872 masjid yang terbuat dari bahan kayu itu dibangun permanen oleh putra-nya yakni Sultan Mahmud Perkasa Alam [Sultan Deli ke-8].
Ketika itu rakyat dan kerajaan Melayu Deli hidup dalam kemakmuran dari hasil menjual rempah-rempah dan tembakau. Rejeki yang berlimpah sebagian digunakan Sultan Mahmud Perkasa Alam, yang berkuasa pada saat itu, untuk menjadikan masjid itu sebagai bagunan megah. Masjid Al Osmani yang dibangun oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam inilah yang kini berdiri kokoh di Labuan Deli.
Bila kita menghitung jarak waktu antara perpindahan pusat pemerintahan dari Padang Datar [pusat kota Medan], ke Kampung Alai [Labuhan Deli] di tahun 1728 di masa pemerintahan Tuanku Panglima Pasutan [Sultan Deli ke-4] hingga pendirian Masjid Al Osmani di tahun 1854 pada masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] terpaut waktu sekitar 126 tahun, waktu yang cukup lama bagi sebuah kesultanan berdiri tanpa kehadiran sebuah Masjid. Lalu, dimanakah para Sultan dan kerabatnya serta rakyat Deli menyelenggarakan sholat berjamaah selama 126 tahun sebelum masjid Al Osmani di bangun ?.
Sejarah hanya menyebutkan bahwa masjid Al Osmani dibangun oleh Sultan Osman Perkasa Alam [Sultan Deli ke-7] tanpa menyebutkan apakah sebelumnya sudah ada tempat yang difungsikan sebagai masjid atau tidak. Boleh jadi sebelum Sultan Osman membangun masjid ini, sudah ada ruang khusus di Istana kesultanan Deli yang difungsikan sebagai mushola / masjid kerajaan yang digunakan untuk beribadah termasuk penyelenggaraan sholat Jum’at dan dua hari raya. Yang pasti butuh penelitian lebih jauh untuk menjawab pertanyaan sederhana itu.
Sebagai Masjid Kesultanan, dahulunya istana Kesultanan Deli pertama yang dibangun di depan masjid ini sehingga sultan cukup berjalan kaki jika ingin ke masjid. Sekarang setelah lebih dari 150 tahun berlalu istana itu sudah rata dengan tanah, berganti bangunan sekolah dasar. Ketika pertama kali dibangun, ukuran Masjid Al Osmani hanya 16 x 16 meter dengan material utama dari kayu. Fungsi utamanya sebagai masjid tempat sultan melaksanakan salat serta kegiatan keagamaan dan syiar Islam.
Pada tahun 1870, Sultan Deli ke-8, Mahmud Al Rasyid melakukan pemugaran besar-besaran terhadap bangunan masjid yang diarsiteki arsitek asal Jerman, GD Langereis. Selain dibangun secara permanen, dengan material dari Eropa dan Persia, ukurannya juga diperluas menjadi 26 x 26 meter. Renovasi itu selesai tahun 1872. Rancangannya unik, bergaya India dengan kubah tembaga dan kuningan bersegi delapan. Kubah yang terbuat dari kuningan tersebut beratnya mencapai 2,5 ton Sementara kaligrafi dan lukisan bagian dalam kubah tidak kalah indah dengan Masjid Raya Al Mashun.
Pemugaran berikutnya dilaksanakan pada tahun 1927 yang digagas Deli Maatschappij, perusahaan kongsi Kesultanan Deli dan Belanda. Lantas dilakukan lagi pada tahun 1964 oleh T Burhanuddin, Direktur Utama PT Tembakau Deli II. Rehabilitasi berikutnya dilakukan Walikota Medan HM Saleh Arifin pada tahun 1977. Terakhir, pemugaran dilakukan Walikota Medan Bachtiar Djafar pada tahun 1992.
Arsitektural Masjid Al Osmani
Beberapa kali pemugaran terhadap bangunan masjid ini telah dilaksanakan tanpa menghilangkan arsitektur asli yang merupakan perpaduan bangunan Timur Tengah, India, Spanyol, Melayu, dan China. Terdapat tiga pintu utama berukuran besar yang berada di utara, timur, dan selatan masjid dan dulunya hanya digunakan oleh Sultan Deli beserta kalangan istana. Sedangkan rakyatnya masuk melalui empat pintu yang berukuran kecil yang berada di bagian utara dan selatan. Kedua pintu berukuran kecil itu mengapit pintu utama.
Di bagian dalam masjid ber-kapasitas 500 jamaah ini terdapat empat tiang besar dan kokoh berfungsi sebagai penyangga utama kubah masjid yang tergolong berukuran besar dibandingkan kubah mesjid lain. Empat penyangga itu juga mempunyai arti menjunjung empat sifat kenabian, yakni sidiq [benar], amanah [dapat dipercaya], fathonah [pintar], dan tabligh [menyampaikan].
Layaknya sebuah masjid tua dan milik kerajaan, pekarangan masjid ini juga dijadikan lahan pemakaman. Di pemakaman masjid ini terdapat lima makam Sultan Deli yang pernah berkuasa di Istana Labuhan Deli, mereka adalah : Tuanku Panglima Pasutan (Sultan Deli ke-4), Tuanku Panglima Gandar Wahid (Sultan Deli ke-5), Sultan Amaluddin Perkasa Alam (Sultan Deli ke 6), Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan Deli ke-7), dan Sultan Mahmud Perkasa Alam (Sultan Deli ke-8)
Kondisinya saat ini, masih menunjukkan kemegahan pada zamannya. Sebuah mimbar dari kayu berukir, jam dinding antik dan lampu gantung dari kristal menjadi ornamen yang memperindah bagian dalam masjid. Dominasi warna kuning dan hijau dinding bangunan menjelaskan entitas Melayu yang melekat pada masjid tersebut. Hingga kini, selain digunakan sebagai tempat beribadah, masjid itu juga dipakai sebagai tempat peringatan dan perayaan hari besar keagamaan dan tempat pemberangkatan jemaah haji yang berasal dari wilayah Medan utara menuju pemondokan jamaah haji.
Kebesaran Masjid Al Osmani juga menarik para petinggi negara untuk singgah dan sholat disini. Diantara mereka tercatat Menteri Kehutanan RI Ir Zulkifli Hasan SE M dan Menteri Prekonomian RI Ir H Hatta Rajasa berkesempatan melaksanakan sholat Jum’at di masjid ini pada 27 Januari 2012 lalu dalam rangkaian acara safari Jum’at yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Medan, memasuki tahun 2012.
l
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar