RUNNING TEXT

Rabu, 15 Maret 2017

BAB I HADIS DHAIF 0leh : Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag., S.PdI, MA A. Pendahuluan. Hadis adalah salah satu sumber ajaran Islam dan merupakan warisan dari Rasulullah Saw untuk menjadi pedoman dalam menata dan mengembangkan kehidupan untuk terwujudnya misi kehidupan sosial optimal. Oleh karena itu posisi hadis sebagai seorang muslim cukup penting. Maka mengingat pentingnya hadis ini sangat banyak perhatian orang-orang Islam terhadap hadis, dan hal inilah yang menjadi faktor utama para ilmuan mengadakan penelitian terhadap hadis itu sendiri.Banyak dari kalangan ilmuan muncul salah satu bidang disiplin ilmu yaitu Ulumul Hadis. Nawir Yuslem, mengutip defenisi Mahmud al-Thohha, memberi pengertian bahwa Ulumul Hadis adalah: “istilah hadis di dalam tradisi ulama hadis”. (Arabnya: Ulum al-Hadis), Ulum al-Hadis terdiri dari dua kata yaitu ulum, dan hadis, kata ulum dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ilm, jadi berarti “ilmu-ilmu”. Sedangkan al-hadis di kalangan ulama hadis berarti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, dari perkataan, perbuatan, takrir, atau sifat. Dengan demikian, gabungan kata ulum al-hadis mengandung pengertian ilmu-ilmu yang membahas atau yang berkaitan dengan hadis Nabi Saw. Dan pembahasan tentang hadis dengan segala seluk beluknya. Dan salah satu objek pembahasannya adalah tentang kualitas hadis. Bicara tentang kualitas hadis, maka mayoritas ulama hadis sepakat bahwa kriteria yang menentukan mutu hadis terdiri dari lima aspek yaitu: bersambung sanadnya, keadilan dari tiap-tiap orang yang ada dalam sanad, kedhabitan para sanad, terhindar dari syudzudz dan ‘illat. Dengan melihat beberapa aspek ini maka diantara kualitas hadis itu ada yang disebut dengan dhaif, dan akan dibahas dalam makalah ini. Adapun pembahasan dalam makalah ini meliputi Pengertian Hadis Dhaif, Macam-Macam Hadis Dhaif, Kehujjahan Hadis Dhaif. B. Pengertian dan Kriteria Hadis Dhaif Secara etimologi dhaif artinya lemah dan lawannya al-qawi yaitu kuat, sedangkan secara epistemologi hadis dhaif adalah “setiap hadis yang tidak terhimpun padanya ciri-ciri hadis shahih dan tidak pula hadis hasan”. Jelasnya Ibnu al-Shalah menyebutkan sebagaimana dijelaskan dalam buku Tadrib al-Rawi, bahwa hadis dhaif secara teoritis menjadi 42 macam, al-Mannawi mengatakan mencapai 129 macam, namun yang mungkin terwujud hanya 81 macam. Kemudian ia mengatakan bahwa menguraikan keseluruhan macam-macam hadis dhaif tersebut hanya membuang-buang energi dan kurang bermanfaat. Seperti pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka hadis dhaif itu dapat diketahui melalui lima kriteria yaitu: 1. Terputus sanad hadis. 2. Diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil. 3. Diriwayatkan oleh orang yang tidak dhabit. 4. Diriwayatkan oleh orang yang tidak memiliki syuzuz, dan 5. Diriwayatkan oleh orang yang memiliki illat. Oleh karena itu, maka setiap hadis yang tidak bersambung atau terputus sanadnya, perawinya tidak adil, dan tidak dhabit serta mereka memiliki syuzuz dan ‘illat, maka hadis inilah yang tergolong hadis dhaif. Maka seperti disinggung tadi bila dilihat dari ragam macamnya ia cukup banyak. Namun menurut Ajjaj al-Khatib, berbagai macam sebab lemahnya suatu hadis pada umumnya kembali kepada dua masalah yaitu tidak tersambungnya sanad dan kedua kumpulan berbagai sebab selain tidak bersambungnya sanad. Menurut Nawir Yuslem berdasarkan kriteria di atas, maka dapat dijelaskan bahwa kedhaifan hadis dhaif disebabkan oleh dua hal pokok yaitu terputusnya sanad dan terdapatnya cacat pada diri seorang perawi atau matannya. C. Macam-macam Hadis Dha’if Berdasarkan penelitian para ulama hadis, bahwa kedha’ifan suatu hadis terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan, dan pada perawinya. dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadis kedalam beberapa hadis dha’if, yang jumlahnya sangat banyak sekali. 1. Dha’if Ditinjau dari Segi Sanad a. Hadis Mursal Hadis Mursal adalah Hadis yang dimarfu’kan (diangkat) yang diriwayatkan oleh seorang tabi’i langsung dari Rasulullah saw dengan tidak menyebut nama orang yang menceritakan kepadanya. Defenisi seperti inilah yang banyak digunakan oleh ahli Hadis, hanya mereka tidak memberikan batasan antara tabi’i kecil dan besar. Namun ada juga sebgaian ulama hadis yang memberikan batasan Hadis Mursal ini hanya di marfu’kan kepada tabi’i besar saja karena periwayatan tabi’i besar adalah sahabat dan Hadis yang dimarfu’kan kepada tabi’i yang kecil termasuk Hadis Munqoti’. Secara etimologi, Hadis Mursal ini diungkapkan secara bahasa adalah isim maf’ul dari arsala yang berarti athlaqa, yaitu melepaskan dan membebaskan. Secara istilah Hadis Mursal adalah Hadis Mursal adalah Hadis yang gugur dari akhir sanadnya, seorang perawi sesudah tabi’i. Maksud dari defenisi diatas dapat dipaham bahwa seorang tabi’i mengatakan Rasulullah saw berkata demikian, den sebagainya, sementara Tabi’i tersebut jelas tidak bertemu dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Tabi’i tersbut menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullahh saw dengan tabi’i. Sebagai contoh dari Hadis Mursal ini adalah : “Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya pada bagian “jual beli” (kitab al-buyu’) dia berkata : “telah menceritakan kepadaku Muhammad Ibnu Rafi’, telah menceritakan kepada kami Hujjain, telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari Uqail dari Ibnu Shihab dari Ibnu Ssaid ibnu Musayyab, bahwa Rasulullah saw melarang menjual kurma yang masih berada dipohon, dengan kurma yang sudah dikeringkan.” Said bin Musayyab adalah seorang tabi’i besar,. Dia meriwayatkan Hadis ini tanpa menyebutkan perawi (sahabat) yang menjadi perantara antara dirinya dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini Ibnu Musyayyab telah menggugurkan akhir dari perawinya yaitu sahabat. Bisa saja selain dari sahabat yang digugurkannya ada tabi’i lain yang juga digugurkannya. Klasifikasi Hadis Mursal Sebagaimana iterangkan bahwa Hadis Mursal adalah hadis yang jalan sanadnya menggugurkan perawi yang terakhir yaitu sahabat yang langsung menerima Hadis tersebut dari Rasulullah saw. Diitinjau dari segi siapa yang menggugurkan dan dari sifat-sifatnya, maka Hadis Mursal ini terdiri dari tiga bagian : 1) Mursal Shahabi, yaitu : Pemberitaan sahabat yang disandarkan kepada Rasulullah saw tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, lantaran disaat Rasulullah saw masih hidup ia masih kecil atauu terbelakang masuk Islamnya. Hadis Mursal shahabi ini tidak dipermasalahkan apabila seluruh perawi dalam sanadnya termasuk dalam kategori adil, sehingga kemajhulannya tidak bersifat negative. 2) Mursal Khafi’ yaitu : Hadis yang diriwayatkan oleh tabi’i namun tabi’i yang meriwayatkan Hadis tersebut hidup sezaman dengan sahabat tetapi tidak pernah mendengar ataupun menyaksikan Hadis langsung dari Rasulullah saw. 3) Mursal Jali, yaitu : apabila penggugurannya dilakukan oleh rawi (tabi’i) dapat diketahui jelas sekalii oleh umum, bahwa orang yang menggugurkan tersebut tidak pernah hidup sezaman dengan orang yang digugurkannya atau yang menerima berita langsung dari Rasulullah saw. b. Hadis Munqati’ Kata Munqati’ adalah ism maf’ul dari inqata’a yang berarti terputus, secara istilah Hadis Munqati’ ini adalah Hadis yang gugur padanya seorang rawi atau disebutkan padanya seorang rawi yang tidak jelas. Macam-Macam Pengguguran (Inqita’) 1) Perawi yang meriwayatkan Hadis jelas dapat diketahui tidak sezaman hidupnya dengan guru yang memberikan Hadis padanya. 2) dengan samara-samar yang hanya diketahui oleh orang yang mempunyai keahlian saja. Diketahuii dengan jalan lain dengan adanya kelebihan seorang rawi atau lebih dalam Hadis riwayat orang lain. Defenisi lain menyebutkan Hadis Munqati’ adalah Hadis yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang gmubham. Dari segi gugurnya perawi, ia sama dengan Hadis Mursal hanya saja jika Hadis Mursal dibatasi denngan gugurnya sahabat, sementara dalam Hadis Munqati’ tidak ada batasan seperti itu. Jadi bila terdapat gugurnya perawi baik diawal, ditengah ataupun diakhir pada suatu Hadis maka dia disebut dengan Hadis Munqati’. c. Hadis Mudallas Kata mudallas adalah ism maf’ul darii dallasa yang berarti gelap atau berbaur dengan gelap. Menurut ilmu Hadis Mudallas adalah hadis yang diriwayatkan seorang rawi dari orang yang hidup semasanya, namun ia tidak pernah bertemu dengan orang yang diriwayatkannya tersebut dan tidak mendengarnya dari nya karena kesamaran mendengarkannya”. d. Hadis Mu’addhal Kata Mu’addhal berarti menyembunyikan sesuatu menjadi sesuatu yang misterius atau problematik. Secara bahasa menurut ilmu hadis, Hadis Mu’addhal adalah Hadis yang gugur dari sanadnya dua 0rang rawi atau lebih secara berturut-turut baik dari awal sanad, pertengahan sanad ataupun akhirnya. Hadis ini termasuk yang di mursalkan oleh tabi’in. Hadis ini sama bahkan lebih rendah dari Hadis Munqati’. Sama dari keburukan kwalitasnya, bila kemunqoti’annya lebih dari satu tempat. e. Hadis Mu’allaq Secara bahasa Mu’allaq adalah ism maf’ul dari kata ‘alaqa yang berarti menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menjadi tergantung” sedangkan menurut istilah ilmu Hadis, hadis Mu’allaq adalah Sesuatu yang telah gugur seorang perawi atau lebih secara berturut-turut dari awal sanad baik gugurnya tetap ataupun tidak. Dalam literatur lain disebutkan Hadis Mu’allaq adalah Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi secara berturut-turut”. 2. Dha’if ditinjau dari Segi Cacatnya Perawi Dari segi diterima atau tidaknya suatu Hadis untuk dijadikan hujjah maka Hadis, pada prinsipnya terbagi kepada dua bagian yaitu Hadis maqbul yang mana Hadis maqbul ini adalah Hadis Shahih dan Hadis Hasan sementara yang kedua adalah Hadis mardud yaitu Hadis Dha’if dan segala macamnya. Karena cacat perawi dalam Hadis Dha’if ini baik dari segi matan maupun sanadnya disebabkan oleh keadilan perawi, agamanya tau hafalannya tau keelitiannya, selain itu juga karena terputusnya sanad perawi atau yang digugurkan atau yang saling tidak bertemu antara sau dengan yang lain. Dalam hal ini Hadis Dha’if yang ditinjau dari segi perawinya terbagi bermacam-macam yaitu : a. Hadis Mudha’af. Yaitu Hadis yang tidak disepakati kedhaifannya. Sebagai ahli Hadis menilainya mengandung kedhaifan, baik dalam sanad maupun matannya, dan sebagian lain mengatakannya kuat namun penilaian kedhaifannya lebih kuat. Ibnu al-Jaui merupakan orang yang pertama kali melakkukan pemilahan terhadap Hadis jenis ini. b. Hadis Matruk Hadis matruk adalah Hadis yang menyendiri dalam periwayatan dan diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam periwayatan Hadis, dalam Hadis nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya atau terlihat jelas kefasikannya, melalui perbuatan ataupun kata-kata, serta sering kali salah atau lupa. Misalnya Hadis Amr bin Samar dari jabir al-Jafiy. Yang dimaksud dengnan rawi tertuduh dusta yaitu seorang rawi yang dalam pembicaraan selalu berdusta, tetapi belum dapat dibuktikan bahwa ia berdusta dalam membuat hadis. Adapun orang yang berdusta diluar pembuatan Hadis ditolak periwayatannya. c. Hadis Munkar. Hadis Munkar adalah Hadis yang perawinya sangat cacat dalam kadar sangat keliru atau nyata kefasikannya. Para ulama Hadis memberikan defenisi yang bervariasi tentang Hadis Munkar ini. Diantaranya ada dua defenisi yang selalu digunakan, yaitu : 1) Hadis yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat keliru, atau sering kali lali dan terlihat kefasikannya secara nyata. 2) Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang Hadis tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqoh. d. Hadis Mu’allal Hadis Muallal adalah Hadis yang cacat karena perawinya al-wahm, yaitu hanya persangkaan atau dugaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang mutthasil, dan memauqufkan yang maru’ dan sebagainya. e. Hadis Mudraj. Idraj berarti memasukkan Sesautu kepada suatu yang lainnya dan menggabungkannya kepada yang lain itu, dengan kata lain Hadis mudraj adalah Hadis yang didalamnya terdapat kata-kata tambahan yang bukan dari bagian Hadis tersebut. Hadis mudraj ada dua yaitu : 1) Mudraj Isnad : “seorang peerawi menambahkan kalimat-kalimat dari dirinya sendiri saat mengemukakan sebuah Hadis disebabkan oleh suatu perkara sehingga orang yang meriwayatkan selanjutnya menganggap apa yang diucapkannya adalah juga bagian dari Hadis tersebut. 2) Mudraj Matan : sesuatu yang dimasukkan ke dalam matan suatu Hadis yang bukan merupakan matan dari Hadis tersebut, tanpa ada pemisahan diantaranya ( yaitu antara matan Hadis dan sesuatu yang dimasukkan tersebut). Atau memasukkan suatu perkataan dari perawi kedalam matan suatu Hadis, sehingga diduga perkataan tersebut berasalah dari perkataan Rasulullah saw. f. Hadis Maqlub Hadis Maqlub adalah Hadis yang menggantikan suatu lafaz dengan lafaz lain pada sanad Hadis atau matannya engan cara mendahulukan ataupun mengakhirknnya. Dengan kata lain ada pemutar balikan antara matan dan sanad baik didahulukan ataupun diakhirkan. Dalam hal ini jelas bahwa hukumnya trtolak serta tidak dapat dijadikan dalil suatu hukum. g. Hadis Mudhtharib Hadis Mudhtharib adalah Hadis yang diriwyatkan dalam bentuk yang berbeda yang masing-masing sama kuat. h. Hadis Mushahaf yaitu Hadis yang dirubah kalimatnya, yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqot, baik secara lafaz maupun makna Hadis ini ada yang berubah sanadnya dan adapula berubah matannya. i. Hadis Syaz yaitu Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu perawi yang dhabit, adil dan sempurna kebaikannya namun Hadis ini berlawanan dengan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih tsiqot, adil dan dhobit shingga hadis ini ditolak dan Hadis ini juga disebut dengan Hadis Mahfuz. D. Hukum Meriwayatkan dan Mengamalkan Hadis Dha’if Ada tiga pendapat ulama dalam tentang pengamalan dan penggunaan Hadis Dha’if : 1. Hadis Dha’if tidak diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail maupun ahkam dan ini merupakan pendapat kebanyakan ulama termasuk Imam Bukhari dan Muslim. 2. Hadis Dha’if bisa diamalkan secara mutlak, ini merupakan pendapat Abu Daud dan Imam Ahmad yang lebih mengutamakan Hadis Dha’if dibandingkan ra’yu seseorang. 3. Hadis Dha’if dapat digunakan dalam masalah fadhail mawa’iz atau sejenis dengan memenuhi kriteria yang ada. Ibnu Hajar membaginya kepada kriteria yaitu: a. Kedhaifannyaa tidak terlalu b. Hadis Dha’if yang termasuk cakupan Hadis pokok yang bisa diamalkan. c. Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat tapi sekedar hati-hati. . Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah, dan syaratnya sebagai berikut: 1. Kandungan hadis tersebut berkenaan dengan kisah, nasehat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat Alqur’an, hukum halal, hukum haram, dan semacamnya. 2. Kedhaifan hadis yang bersangkutan tidak parah. 3. Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dhaif tersebut. 4. Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadis dhaif tersebut, tetapi diniatkan atas dasar kehati-hatian (ibtiyath). Dilihat dari segi syarat-syarat yang demikian ketat itu, maka dapatlah dinyatakan bahwa sesungguhnya ulama berprinsip menolak hadis dijadikan sebagai hujjah (karena agama berkaitan dengan kayakinan, dan keyakinan tidak dapat didasarkan pada dalil yang lemah atau meragukan). BAB II HADIS MAUDHU’ A. Pendahuluan. Meski begitu besarnya fungsi dan kedudukan Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Alquran al-Karim, namun seperti dicatat dalam sejarah, ternyata penulisan dan kodifikasi Hadis secara resmi baru dimulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz. Begitu lamanya rentang antara waktu sejak meninggalnya Rasulullah saw. hingga waktu kodifikasi Hadis. Dalam perjalanan sejarah Hadis, banyak muncul Hadis-Hadis palsu yang diterbitkan oleh beberapa golongan untuk tujuan tertentu baik politik seperti yang dilakukan oleh kaum Syi’ah, atau ekonomi seperti pemalsuan hadis yang menyatakan bahwa melombakan merpati adalah sesuatu hal yang disuruh Rasul, fanatisme terhadap sebuah ajaran atau golongan seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasul telah memberikan kepemimpinan kepada Ali. Makalah ini akan menguraikan tentang Hadis palsu dan beberapa kajian yang berkaitan dengannya B. Pengertian Hadis Maudhu’ Dari segi bahasa, maudhu’ berarti bentuk ism maf’ul dari kata kerja wadha’a yang berarti mengada-ada atau membuat-buat. Bila dikaitkan dengan Hadis maka berarti mengada-adakan Hadis atau memalsukan Hadis. Menurut ilmu Hadis, Hadis maudhu’ berarti Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw. yang Rasulullah saw. sendiri tidak pernah mengerjakan, berbuat dan memutuskannya. Dalam sumber lain dikatakan bahwa Hadis maudhu’ berarti kebohongan yang dibuat dan diciptakan serta disandarkan kepada Rasulullah saw. Dari beberapa defenisi di atas dapat terlihat adanya beberapa kesamaan unsur tentang tanda adanya pemalsuan Hadis, yaitu: 1. Adanya unsur kesengajaan. 2. Ada unsur kebohongan atau ketidaksesuaian dengan fakta. 3. Ada penisbahan kepada rasulullah saw. Berupa ucapan perbuatan atau pengakuan. C. Sejarah dan Perkembangan Hadis Maudhu’. Ada perbedaan pendapat tentang kapan munculnya pemalsuan Hadis. Di antara perbedaan itu ada yang berpendapat bahwa pada zaman Rasulullah saw. belum terjadi pemalusan Hadis. Pendapat ini diutarakan oleh Abdul Wahhab, namun meski demikian, ia juga tidak menolak adanya kemungkinan unsur pemalsuan terhadap Rasulullah saw. dan ajaran Islam yang dilatari berbagai faktor. Beberapa faktor yang turut melatari hal tersebut, menurut Abdul Wahhab, adalah adanya anggapan bahwa Rasulullah saw. tidak melarang bahkan memberi kesempatan bila dipandang dapat memberikan manfaat positif bagi kemajuan ummat Islam. Pemalsuan tersebut bisa berupa nasehat agama. Faktor yang lain adalah adanya kecerobohan dalam meriwayatkan Hadis oleh perawi-perawi yang lemah sehingga timbul kesalahan dalam berbagai bentuk. Seperti riwayat yang sebenarnya bukan berasal dari Rasulullah saw., akan tetapi karena kesilapan, riwayat tersebut disandarkan kepada Rasulullah saw. Pendapat yang lain mengatakan bahwa pemalsuan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. pendapat ini seperti yang diajukan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin. Salahuddin al-Adabi berpendapat bahwa pemalsuan Hadis yang sifatnya melakukan kebohongan terhadap Rasulullah saw. dan berhubungan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah saw. yang dilakukan oleh orang-orang munafiq. Sedangkan pemalsuan yang Hadis yang berkenaan dengan masalah agama belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Alasan yang dikemukakan oleh al-Adabi adalah Hadis yang diriwayatkan oleh at-Thahawi (w. 321 H) dan at-Tabrani (w. 360 H). Riwayat itu menyatakan bahwa pada masa Rasulullah saw., adalah seseorang yang telah membuat berita bohong dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. orang tersebut mengaku telah diberi kuasa oleh Rasulullah saw. untuk menyelesaikan suatu masalah pada kelompok masyarakat tertentu di sekitar Madinah. Pendapat lain dikemukakan oleh Ahmad Amin, ia beralasan dengan adanya Hadis Rasulullah saw. yang bisa dimaknai dengan adanya kemungkinan terjadinya pembohongan di zaman Nabi. Hadis yang dimaksud adalah: و من كذب على متعمدا فليتبوأ مقعده من النار Barang siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka. Hadis ini meskipun dapat dimaknai sebagai bentuk peringatan agar tidak terjadi pembohongan atas nabi, tapi oleh Ahmad Amin, Hadis ini dimaknai telah ada pembohongan pada masa tersebut. Kedua pendapat tersebut di atas, nampaknya memerlukan pengujian, terutama dari segi historis yang dapat mendukungnya yang juga dapat mencari tahu siapa dan kapan terjadinya pembohongan tersebut. selain dari itu, dari segi matan riwayat yang dikemukakan oleh al-Adabi yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan sahabat beliau untuk membunuh orang yang telah berbohong dan apabila yang ternyata yang bersangkutan telah meninggal dunia, maka Rasulullah saw. memerintahkan jasad orang tersebut dibakar. Bukankah ini sesuatu yang tidak berguna dan bertentangan dengan ajaran Islam?. Dari segi sanad Hadis yang dipakai oleh al-Adabi telah mendapat penilaian dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang telah mengatakan bahwa ada nama sahabat yang dinilainya tidak sahih. Selain dari itu, riwayat tersebut merupakan riwayat tambahan dari Hadis mutawatir yang dijadikan alasan oleh Ahmad Amin. Pendapat ketiga adalah pemalsuan menurut kebanyakan ulama. Ajjaj al-Khatib menegaskan bahwa pemalsuan tidak terjadi dari sahabat dan dari para tabi’in besar, dan kalaupun terjadi hanya muncul dari sebagian orang jahil dari kalangan tabiin. Muhammad bin Iraq al-Kinani mengatakan bahwa pada masa pertengahan masa tabi’in yakni awal abad 11 H, terdapat kelompok yang lemah dan banyak sudah memarfu’kan yang mauquf dan meriwayatkan yang mursal. Pada masa tabi’in kecil (150 H), muncul kelompok-kelompok politik, unsur-unsur filsafat, keyakinan agama, fanatisme, kebohongan dan kesalahan. Kebanyakan ulama Hadis berpendapat bahwa pemalsuan Hadis baru terjadi pertamakalinya setelah tahun 40 H, pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib yang kontra dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terpecahnya ummat Islam dan muncul golongan-golongan kelompok agama dan politik yang berbeda. Antar kelompok yang ada saling menguatkan kelompoknya dengan Alquran al-Karim dan sunnah. Tentu saja tidak setiap golongan menguatkan kelompoknya dengan menggunakan Alquran al-Karim dan sunnah, maka sebagian mencoba mentakwilkan Alquran al-Karim dan menafsirkan Hadis dengan cara yang tidak benar. Ketika sebuah ayat maupun Hadis tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuannya (karena banyaknya orang yang menghafal Alquran al-Karim dan sunnah) maka mereka mencoba berdalih dengan membuat-buat Hadis dan kebohongan atas Rasulullah saw. Maka muncullah Hadis-Hadis yang berkenaan dengan khalifah yang empat dan pemimpin masing-masing kelompok. Demikian juga halnya dengan aliran-aliran politik, agama dan lainnya. Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa catatan penting tentang berkembangnya pemalsuan Hadis: 1. Pemalsuan yang dipandang terjadi pada masa Rasulullah saw. Seperti yang dikatakan oleh al-Adabi dan Ahmad Amin, tidak didukung dengan fakta yang kuat. 2. Pada masa Rasulullah saw. Dan sahabat terdapat pula periwayatan ajaran agama Islam sebagai nasehat yang dilakukan secara cermat yang dimaknai bukan sebagai pemalsuan. 3. Pemalsuan muncul berawal dari kecerobohan oleh perawi-perawi yang lemah dengan cara: a. Memarfu’kan Hadis mauquf b. Menyambungkan Hadis mursal. Hal ini terjadi pada pertengahan masa tabi’in yang berlanjut dengan kebohongan dalam mentakwilkan ayat dan Hadis hingga berujung kepada pemalsuan Hadis. 4. Kebanyakan ulama mengindikasikan terjadinya pemalsuan setelah tahun 40 H yang dipicu oleh persoalan politik, filsafat dan faham keagamaan. D. Faktor-Faktor Munculnya Hadis Maudhu’. Beberapa faktor yang disebut oleh para ahli yang melatari munculnya Hadis maudhu’, di antaranya adalah: 1. Politik. Setelah Utsman bin Affan wafat, timbul perpecahan di kalangan ummat Islam dengan lahir pendukung masing-masing kelompok yang berseteru, seperti kelompok pendukung Ali, pendukung Mu’awiyah dan kelompok ketiga yakni Khawarij yang muncul setelah terjadinya perang Shiffin. Dari tiga kelompok tersebut, Syi’ahlah yang pertamakali melakukan pemalsuan. Hadis yang dibuat oleh kelompok Syi’ah adalah: على خير البشر من شك فيه كفر Ali adalah orang terbaik, barang siapa yang meragukannya maka ia telah kafir. Sedangkan Hadis yang dibuat oleh kelompok Mu’awiyah adalah: ألا صفاء عند الله ثلاثة أنا و جبريل و معاوية Ingatlah! Yang suci menurut Allah swt. hanya tiga, saya, Jibril dan Mu’awiyah. Sementara kelompok Khawarij tidak membuat Hadis yang sesuai dengan keyakinan mereka bahwa berbohong adalah dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir. 2. Musuh Islam (Zindiq). Di antara nama-nama orang-orang zindiq yang memalsukan Hadis adalah Muhammad ibnu Said al-Samiy. Dia meriwayatkan Hadis yang diakuinya berasal dari Humaid dari Anas dari Rasulullah saw. berbunyi: أنا خاتم النبيين لا نبي بعدى إلا أن يشاء الله Aku adalah penutup para nabi-nabi, tidak ada nabi setelahku kecuali Allah swt. menghendakinya. Tokoh lainnya adalah Abdul Karim ibnu al-Auza’ yang telah memalsukan sebanyak 4000 Hadis yang berhubungan dengan penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal. Mereka memalsukan Hadis untuk tujuan mengkaburkan dan menghilangkan kemurnian agama dalam pandangan ahli fikir dan ilmu. 3. Fanatisme. Para pendukung bahasa Persia menciptakan Hadis yang menyatakan kemuliaan bahasa tersebut, seperti: إن كلام الذى حول العرش فارسى Sesungguhnya permbicaraan di sekitar Arsy adalah menggunakan bahasa Persia. Sementara kelompok yang menantangnya membuat Hadis yang lain seperti: أبغض كلام عند الله فارسى Pembicaraan yang paling dibenci oleh Allah swt. adalah bahasa Persia. 4. Membuat cerita. Salah satu tujuan menyampaikan sesuatu melalui cerita adalah bagaimana agar menarik perhatian atau untuk memperindah hal-hal yang tidak semestinya indah agar pendengarnya merasa tertarik. Pemalsuan yang terkait dengan hal tersebut adalah: من قال لا إله إلا الله خلق الله من كل كلمة طير أنقاره من ذهب و ريشه من مرجان Barang siapa mengatakan “tiada tuhan selain Allah, maka Allah akan menciptakan dari setiap kata-kata tersebut seekor burung yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan. 5. Perbedaan pendapat. Seperti: كل من فى السماوات و الأرض و ما بينهما مخلوق غير القرأن Setiap sesuatu yang ada di langit dan bumi serta yang berada di antara keduanya adalah makhluk kecuali Alquran 6. Semangat yang berlebihan untuk berbuat kebaikan yang tidak dilandasi permasalahan agama. Ada anggapan di kalangan sebagian orang-orang shaleh dan para zahid bahwa untuk tujuan targhib dan tarhib maka pemalsuan dengan tujuan tersebut tidak masuk dalam kategori orang-orang yang dilaknat nabi dalam Hadis “barang siapa berbohong atasku dengan sengaja......”, 7. Untuk mendekatkan diri kepada penguasa. Ghayyas bin Ibrahim telah membuat kebohongan melalui Hadis ketika ia memasuki istana al-Mahdi. Pada saat itu ia melihat al-Mahdi sedang mengadu burung merpati, maka ia mengucapkan memalsukan sebuah Hadis dengan menambahi matannya. Selain dari hal-hal tersebut di atas, masih ada beberapa sebab lain yang mendorong munculnya pemalsuan, seperti demi memuji sebuah usaha atau pekerjaan tertentu. E. Ciri-Ciri Hadis Maudhu’ 1. Ciri-Ciri Pada Sanad. a. Berdasarkan pengakuan dari orang yang memalsukan Hadis. Terdapat beberapa nama pemalsu Hadis yang mengakui perbuatannya, di antaranya adalah Abu Isma Nuh ibnu Abi Maryam tentang keutamaan surat-surat Alquran al-Karim. Abu Karim al-Auza’ yang memalsukan Hadis halal-haram. Begitu juga dengan Abu Yazis yang mengaku telah memalsukan Hadis dan menyatakan bertobat dan minta ampun. b. Tanda-tanda yang bermakna pengakuan. Misalnya seorang rawi yang mengaku menerima Hadis dari seorang guru padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia mengatakan menerima Hadis dari seorang guru, padahal guru tersebut telah meninggal dunia sebelum ia lahir, seperti Ma’mun Ibnu Ahmad al-Saramiy yang mengatakan kepada Ibnu Hibban bahwa ia pernah mendengar Hadis dari Hisyam dan Hammar, Ibnu Hibbanpun bertanya kapan ia ke Syam,yang dijawab oleh Ma’mun Ibnu Ahmad al-Sarami bahwa ia ke Syam pada tahun 250 H. , padahal Hisyam meninggal dunia pada tahun 254 H. c. Terkesan dibuat-buat berdasarkan kejadiannya. 2. Ciri-Ciri Pada Matan. Menelusuri pemalsuan Hadis secara akurat melalui matannya dapat dilakukan dengan menganalisa matan tersebut. Unsur-unsur yang sering terdapat pada matan Hadis maudhu’ adalah: a. Kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya. b. Kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera. c. Mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat. d. Terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut. e. Hal-hal atau berita yang tidak masuk akal. f. Bertentangan dengan nash Alquran al-Karim. g. Bertentangan dengan Hadis mutawatir. BAB III KESIMPULAN Dari uraian di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan yaitu: Hadis dhaif adalah “setiap hadis yang tidak terhimpun padanya ciri-ciri hadis shahih dan tidak pula hadis hasan. Hadis dhaif itu dapat diketahui melalui lima kriteria yaitu: a. Terputus sanad hadis. b. Diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak adil. c. Diriwayatkan oleh orang yang tidak dhabit. d. Diriwayatkan oleh orang yang tidak memiliki syuzuz, dan e. Diriwayatkan oleh orang yang memiliki illat. Berdasarkan penelitian para ulama hadis, bahwa kedha’ifan suatu hadis terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan, dan pada perowinya. dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadis kedalam beberapa hadis dha’if, yang jumlahnya sangat banyak sekali. Pembagian hadis dhaif: 1. Dha’if Ditinjau dari Segi Sanad 2. Dha’if Ditinjau dari Segi Sandaranya 3. Dha’if Ditinjau dari Segi Cacatnya Perawi Hadis dhaif tidak dapat dijadikan hujjah agama, baik untuk penetapan hukum maupun untuk penetapan keutamaan amal. Menurut mereka, dasar penjelasan agama tidak dapat mengacu kepada hadis dhaif. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis dhaif dapat dijadikan hujjah, dan syaratnya sebagai berikut: • Kandungan hadis tersebut berkenaan dengan kisah, nasehat, keutamaan dan sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat Alqur’an, hukum halal, hukum haram, dan semacamnya. • Kedhaifan hadis yang bersangkutan tidak parah. • Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis dhaif tersebut. • Amal yang dilakukan tidak diniatkan atas dasar petunjuk dari hadis dhaif tersebut. Hadis maudhu’ adalah Hadis yang dibuat-buat dan disandarkan kepada Rasulullah saw. ada beberapa faktor, sebab dan tujuan yang mendorong seseorang memalsukan Hadis, seperti: 1. Untuk tujuan politik. 2. Fanatisme. 3. Ekonomi. 4. Dan sebagainya. Ada beberapa cara untuk mengetahui apakah sebuah Hadis palsu atau tidak, baik dengan melihat ciri-ciri pada sanad ataupun matan. Adapun ciri-ciri pada sanad adalah: 1. Adanya pengakuan seorang rawi bahwa ia memalsukan Hadis. 2. Terdapat hal-hal yang menjukkan bahwa seorang rawi memalsukan Hadis. 3. Terkesan dibuat-buat. Sedangkan ciri-ciri pada matan adalah: 1. Kelemahan atau kerancuan lafal Hadis dan maknanya. 2. Kerusakan makna hingga tidak dapat diterima oleh indera. 3. Mentolerir perbuatan dan dorongan syahwat. 4. Terdapat fakta yang bertentangan dengan isi Hadis tersebut. 5. Hal-hal atau berita yang tidak masuk akal. 6. Bertentangan dengan nash Alquran al-Karim atau Hadis mutawatir. DAFTAR KEPUSTAKAAN Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahkan oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998. Al-Khatib, Ajjaj. as-Sunnah Qabla at-Tadwin, Damasqus: Dar al-Fikr, 1981. Al-Khatib, Muhammad Ajjaj. Ushul al-Hadis Ulumul wa Mustalahahu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989. Al-Kinani. Tanzih asy-Syari’at al-Marfu’at, Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 1981. As-Shidqie, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. As-Suyuti. Tadrib al-Rawi, Madinah: Maktabah Ilmiah, 1972. At-Thahhan, Mahmud. Taisir Mushtalah al-Hadis, Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979. Balig, Izzudin. Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunnah Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin, Beirut: Daar Pikr, tt. Ismail, Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. Khadijah, HM.Kifrawi, Azhar, Ulumul Hadis, Medan : PT.Perdana Mulya Sarana, 2011 Ma’luf, Louis. al-Munjid fil Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar Masyriq, 1986. Mas’udi, Hafiz Hasan. Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis, Surabaya: Ahmad Nabni, tt. Rahman, Fathur. Ikhisar Musthalahul Hadis, Bandung : Al-Ma’arif, 1991. Wahid, Ramli Abd. Studi Ilmu Hadis, Medan: PP2IK, 2003. Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis, Jakarta: Mutia Sumber Widya, 2001. . Ushul al-Hadis Ulumuh wa Musthalahuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1966.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar