RUNNING TEXT
Jumat, 10 Maret 2017
ALIRAN AHLISSUNNAH WALJAMAAH DI INDONESIA
MUHAMMADIYAH,NU DAN AL WASHILIYAH
0leh:
Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag., S.PdI, MA
Pendahuluan
Sebagai akibat dari gerakan Modernaisasi (Pembaharuan) dan kebangkitan dunia Islam di akhir abad ke-19 M, muncullah berbagai organisasi dan kelembagaan Islam modern di Indonesia pada abad ke-20 M yang bertetapan dengan abad ke-15 H yang merupakan abad kebangkitan dunia Islam.
Pada abad ke-20 banyak Negara Islam yang memperoleh kemerdekaan dari penjajahan, lahirnya organisasi-organisasi Islam bersifat Nasional maupun Internasional. Khususnya di Indonesia kebangkitan dunia Islam ditandai dengan munculnya organisasi Islam, baik yang bersifat Keagamaan maupun yang bersifat politik dan ekonomi.
Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia. Ide gerakan pembaharuan ini masuk ke Indonesia melalui saluran antara lain lewat kontak para intelektual muslim Indonesia dengan Intelektual Muslim Timur Tengah dan kontak Jemaah haji Indonesia dengan Jemaah luar.
Gerakan pembaharuan di Indonesia mengalami tantangan, gangguan, hambatan dan ancaman terutama tantangan dari pada penjajah yang datang ke Indonesia, seperti pada masa penjajahan Belanda yang selalu mencurigai setiap aktivitas baik di Pendidikan, Pemukiman, Organisasi dan sebagainya. Namun demikian organisasi Islam di Indonesia tetap berjalan walaupun selalu mendapat penentangan dari penguasa penjajahan.
Salah satu wujud konkrit ciri khas dari pengaruh gerakan Reformasi adalah berdirinya organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Adapun organisasi Islam yang berhasil didirikan di Indonesia adalah Muhammadiyah tahun 1912 di daerah Yokyakarta, Nahdlatul ‘Ulama tahun 1926 di Pulau Jawa dan Al jamiyatul Al-Wasliyah di Medan Tahun 1930.
1. Muhammadiyah
Gerakan Muhammadiyah muncul karena 2 (dua) faktor, yaitu faktor Intern yang terdiri dari banyak orang Islam yang tidak melaksanakan Ibadah sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits sehingga banyak yang syirik, Tahayul, Bid’ah, keadaan kehidupan umat Islam masih banyak yang miskin, kebodohan, ortodok dan kemunduran tidak terwujudnya semangat ukhwah Islamiyah dan tidak ada organisasi Islam yang kuat, lembaga pendidikan Islam tidak dapat memenuhi fungsinya dengan baik dan sistem pesantren yang masih kuno. Sedangkan faktor yang kedua adalah faktor ekstern yang terdiri dari adanya penjajahn bangsa Belanda di Indonesia, kegiatan dan kemajuan yang di capai oleh golongan Kristen Katolik di Indonesia, sikap sebagai intlektual Indonesia yang memandang Islam sebagai Agama yang telah ketinggalan Zaman dan adanya rencana politik Kristenisasi dari Pemerintah Belanda demi kepentingan politik kolonialnya.serta terjadinya kebangkitan dunia baru Islam utamanya di negara-negara Timur Tengah.
Kelahiran Muhammadiyah tidak dapat dilepaskan dari pribadi K.H.Ahmad Dahlan sebagai pendirinya. Pemahaman beliau yang begitu luas dan mendalam terhadap Agama Islam merupakan pendorong berdirinya organisasi Muhammadiyah. Apalagi beliau melihat bahwa praktek kpelaksanaan ajaran Islam di Indonesia masih banyak yang tidak sesuai lagi sebagaimana yang dianjurkan dan diajarkan oleh Rasulullah Saw melalui sunnah-sunnahnya.
Sebab itulah, KH.Ahmad Dahlan muncul sebagai seorang yang peduli terhadap kondisi yang sedang di hadapi masyarakat Indonesia secara umum dan masyarakat Islam secara khusus.Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M di Yokyakarta, KH.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi yang menghembuskan jiwa pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bergerak di berbagai bidang kehidupan umat.
Menurut bahasa, kata Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab dan dari suku kata
“Muhammad” yaitu Nabi dan Rasul Allah yang terakhir dan kata “ya’ nisbiyah” berarti menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti “ummat Muhammad Saw atau pengikut Muhammad Saw”. Sedangkan menurut istilah, muhammadiyah adalah gerakan Islam,da’wah amar ma’ruf nahi Munkar, berakidah Islam dan bersumber pada Al-quran dan sunnah.
Gerakan ini di beri nama oleh pendirinya dengan nama Muhammadiyah dengan maksud untuk bertafa’ul (berpengharapan baik) bahwa seluruh pengikutnya dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan Nabi Muhammad Saw dalam rangka menegakkan dan menjungjung tinggi Agama Islam semata-mata demi terwujudnya ‘Izzul Islam wal Muslimin ditengah-tengah persada Nusantara. Organisasi Muhammadiyah berdiri yang dicirikan para Sarjana sebagai organisasi sosial keagamaan yang bergerak dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam Indonesia. Dapat diduga pemikiran Islam Modern itulah yang pada saatnya mempengaruhi berbagai organisasi Islam yang bukan saja telah membangkitkan perasaan Nasionalisme.
Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam kaitan ini usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah banyak terkait dengan masalah-masalah praktis ubudiyah dan mu’amalah.
Secara teoritis, agama itu dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu aspek keimanan yaitu hubungan antara individu manusia dengan Tuhannya (i’tikadiyah), aspek bidang tata-cara pengalaman (syari’ah), dan aspek hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitarnya muamalat. Ketiga aspek ini juga harus sinergi berlakunya antara yang satu dengan yang lainnya, Ibnu Rusdy mengistilahkan ketiga hal tersebut dengan istilah “Fiqh Akbar”. Disinilah posisi Muhammadiyah, sebagai penjaga keseimbangan antara ketiga hal tersebut.
Tentang teologi organisasi Muhammadiyah, menurut Azra bahwa teologi Muhammadiyah sebenarnya berdasarkan teologi klasik yaitu teologi Asy’ariyah. Benar bahwa selama ini banyak beranggapan bahwa teologi Muhammadiyah diambil dari pemikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan Jamaluddin Al-Afghani. Tidak salah dengan rasionalitas jika kemudian dipadukan dengan petunjuk lainnya seperti kekuatan hati, alam dan yang tidak kalah pentingnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Azra menjabarkan bahwa teologi Muhammadiyah itu lebih dekat pada Hanbalisme, dan bahkan teologi Muhammadiyah itu menganut Neo-Hanbali yang dibawa oleh Ibnu Taimiyah. Dalam ajarannya, Ibnu Taimiyah secara tegas menolak segala bentuk khurafat, tahayul dan bid’ah.
Pendapat Azra di dukung oleh penelitian belakangan, bahwa secara geneologi, paham keagamaan Muhammadiyah tercermin lewat prinsip-prinsip keagamaan yang dikemukakan Ibnu Taimiyah, yang memprakarsai gerakan salaf, dan pemikiran Ahmad Ibnu Hanbal sebagai pendiri Mashab Hanbali. Organisasi ini juga dipengaruhi oleh ajaran Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Rid’ah, dan Muhammad Ibnu Abdul Wahab sebagai pendiri aliran wahabi.
Dalam hubungan individu dengan Tuhannya, Muhammadiyah menganjurkan sebuah konsep yang dipopulerkan oleh Hamkah yaitu Tasawuf Modern, meski konsep tersebut tidak populer bagi warga Muhammadiyah Sendiri. Dalam bidang syari’ah, Muhammadiyah bukanlah sebuah mashab dan tidak pula mengikuti sebuah mashab. Muhammadiyah adalah pencari kebenaran (walau dimana pun kebenaran itu berasal dan walau siapapun penyampai kebenaran itu), menemukan kebenaran dan mengaktualisasikan kebenaran itu dalam kehidupannya sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam bidang sosial, persyarikatan Muhammadiyah banyak berbuat. Organisasi ini sangat banyak mendirikan Rumah Sakit, Panti Asuhan, Sekolah/Pesantren dan Perguruan Tinggi.
2. Nahdlatul ‘Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsyafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat.Dengan bermasyarakat, manusia berusaha menwujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadap persatuan, ikatan bathin, saling bantu membantu dan seiaseikataan merupakan syarat dari tumbuhnya persatuan dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang baik dan harmonis.Seringkali dinyatakan bahwa NU dilahirkan oleh Kiai tradisional yang menyangsikan posisi mereka terancam dengan munculnya Islam reformis yaitu pengaruh Muhammadiyah dan Serikat Islam yang semakin luas, dan ajaran kaum pembaharu sangat melemakan legitimasi mereka. Kelahiran NU melalui suatu proses yang sangat panjang sebelumnya. Bermula dari munculnya gerakan Nasionalisme yang ditandai dengan berdirinya Serikat Islam (SI) telah mencetak beberapa pemuda alumni pesantren yang bermukim di Mekkah untuk mendirikan cabang perhimpunan itu disana. Sebelum sempat berkembang mereka segera kembali ke tanah air karena pecah perang dunia ke-II. Namun rencana mereka masih tetap melanjutkan setelah mereka menetap di tanah air. Mereka mendirikan Nahdatul Wathan (1914), dan Taswir al-Askar (1918). Setelah itu, di Surabaya di dirikan penghimpunan lokal yang serupa antara lain adalah Perikatan Wataniyah Ta’mir al-Masajid dan Atta’dibiyah.
Ketegangan dalam kongres Al-Islam sepanjang paruh pertama tahun dua puluhan dan berlanjut dalam sidang-sidang Komite Khilafat, telah mendorong penghimpunan lokal di Surabaya itu turut serta mendirikan organisasi baru yang luas dan berskala Nasional. Mereka menilai perhimpunan-perhimpunan umat Islam yang ada maupun Kongres Al-Islam sendiri tidak bersikap Akomodatif terhadap visi yang mereka coba kembangkan. Kemudian ketegangan tersebut berlanjut setelah delegasi yang di kirim ke Kongres Makkah pada Tahun 1926 ternyata mengabaikan kepentingan-kepentingan yang mereka kembangkan. Mereka kemudian mengirimkan delegasi sendiri sendiri ke Makkah. Untuk kepentingan itu mereka mendirikan perhimpunan baru NU.
Namun, peristiwa itu hanyalah lintasan proses sejarah dari suatu pergumulan sosial kultural yang panjang. Lembaga pendidikan pesatren yang dikembangkan para ulama telah merintis arah dengan visi keagamaan yang kuat. Jika kemudian mereka membentuk ikatan sosial yang lebih formal, tujuan pokoknya adalah seperti lembaga pesantren itu, yaitu ingin menegakkan kalimah Allah. Visi ini kemudian dikembangkan dengan rumusan yang lebih operasional yang disebut jihad fi sabilillah.
Dalam konteks ini dapat dipahami perjalanan NU selanjutnya. Melalui pesantren, para ulama mengemban tugas melaksanakan jihad untuk menegakkan kalimah Allah. Dimulai dari pesantren para ulama muda merintis kegiatan-kegiatan mereka. Dari perhimpunan keagamaan seperti Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar kemudian NU (Nahdlatul Ulama). Hanya satu cita-cita untuk menempatkan syari’ah sebagai bagian hidup dari kebangsaan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motif utama yang mendasari gerakan para ulama membentuk NU adalah motif keagamaan sebagai jihad fi sabilillah dan tanggung jawab mengembangkan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan pelestarian ajarab mazhab Syafi’i.
Selain latar belakang di atas, sumber lalin mengatakan kelah Oiran NU sebagai reaksi atas pembaharuan pemikiran Islam di Jawa, dengan sebab ini berdirilah NU pada tahun 1926. Adapun sebab-sebab berdirinya organisasi ini sekurang-kurangnya ada dua, yaitu pertama, seruan terhadap penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud, untuk meninggalkan kebiasaan beragama menurut tradisi. Golongan tradisi ini tidak menyukai Wahabisme yang sedang berkembang di Hijaz, karena itu mereka membentuk komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi Nahdlatul Ulama dalam sebuah rapat di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H atau beketetapan dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh KH.Muhammad Hasyim Asy’ari. Kedua, ketika itu pembaharuan Islam di Jawa sedang giat-giatnya yang dipelopori oleh Muhammadiyah dan PERSIS dengan pimpinan tiga tokoh yaitu, K.H. Mas Mansur, Fakih Hasyim dan K.H. Ahmad Dahlan. Selama ini, pemikiran golongan tradisi selalu bertentangan dengan golongan pembaharu. Apalagi yang mewakili umat Islam Indonesia dalam kongres Islam pertama di Makkah adalah dari golongan pembaharu.
Demikianlah beberapa historis latar belakang berdirinya NU sebagai organisasi sosial keagamaan di Indonesia, yang dalam sejarah perjalanan pernah menjadi partai politik, lalu kembali ke-khittah 1926, sampai sekarang. Sekalipun pada masa reformasi membidangi lahirnya beberapa partai politik Islam, namun NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan dan tidak menjadi partai politik.
Pemikiran dan Doktrin Nahdlatul Ulama (NU)
Pemikiran dan Doktrin Paham Nahdlatul Ulama, mengakar pada tradisi pemikiran Islam klasik yang berkembang pada masa tabi’ut tabiin (ulama generasi ke-2 setelah generasi sahabat Nabi Muhammad Saw). Doktrin tersebut adalah Ahlussunah Waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aql (rasional) dengan kaum ekstem naql (skripturalis). Karena itu, sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berfikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang teologi, kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Teologi Asyari’yah sebuah pemikiran teologi yang dianggap tidak progressif dan mendukung status qua begitu kuat mempengaruhui seluruh alur pemikiran NU. Meski oleh para penentangnya teologi Asy’ari dicap sebagai teologi yang menyebabkan kemunduran umat, tetapi jika dirunut dari sisi sejarahnya teologi ini juga memiliki kelebihan dan keunggulan. Letak keunggulan sistem Asy’ari atas lainnya ialah segi metodologinya yang dapat diringkakan sebagai jalan tengah antara berbagai ekstremitas. Maka ketika menggunakan metode logika Aristoteles, ia tidak menggunakannya sebagai kerangka kebenaran itu an sich (seperti terkesan hal itu ada pada para filsuf), melainkan sekedar alat untuk membuat kejelasan-kejelasan, dan itu pun hanya dalam urutan sekunder. Sebab bagi al-Asy’ari, sebagai seorang pendukung Ahl al-Hadis, yang primer ialah teks-teks suci sendiri, baik yang dari kitab maupun yang dari Sunnah, menurut makna harfiah atau literernya. Karena itu, jika ia melakukan ta’wil, ia lakukan hanya secara sekunder pula, yaitu dalam keadaan tidak bisa lagi dilakukan penafsiran harfiah. Hasilnya ialah suatu jalan tengah antara metode harfi kaum Hanbali dan metode ta’wil kaum Mu’tazili. Di tengah-tengah berkecamuknya dengan hebat polemik dan kontroversi dalam dunia intelektual Islam saat itu, metode yang ditempuh al-Asy’ari ini merupakan jalan keluar yang memuaskan banyak pihak. Itulah alasan utama penerimaan paham Asy’ari oleh hampir secara universal, termasuk organisasi NU.
Jika ditelisik secara tekstual alur pemikiran NU, maka mode teologi Asya’riyah yang selalu ingin menjembatani berbagai kontroversi dan mencari jalan tengah adalah cara yang selalu dipakai oleh NU untuk ijtihad politik dan sosial. Pandangan ulama NU dibangun dari sebuah kesederhanaan cara berfikir, yaitu agama dimanifestasikan dalam bentuk akhlakul karimah dan menjadi daya rangsang bagi tercapainya kemaslahatan bangsa dan negara.
Dengan sikap dan pemahaman yang didasarkan atas prinsip ahlussunnah wal jamaah, baik dalam bidang teologi, fikih dan tasawuf, serta pengalaman empirit bangsa Indonesia ini maka NU merumuskan sikap kemasyarakatannya sebagai berikut ini : pertama, tawassuth, yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha menghindari segala bentuk sikap tatharuf (ekstrim), baik dalam bidang agama maupun politik, karena sikap tersebut mengarah kepada kekerasan dan disintegrasi. Kedua, tasamuh, yaitu sikap toleran yang berintikan penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Karena hanya dengan sikap tasamuh itu rasa saling percaya dan solidaritas bisa ditegakkan, dan ini merupakan inti hidup berbangsa. Ketiga, tawazun, selalu berusaha menciptakan keseimbangan hubungan antara sesama umat manusia dengan Allah SWT, antara akal dan wahyu dan antara, individu dan kolektivitas. Dengan sikap tawazun ini dalam kehidupan baik pikiran maupun tindakan bisa terwujud.
Dengan sikap moderat sebagai ciri khas NU bisa dijadikan sebagai sebuah senjata untuk selalu berdialektika dan berdialog dengan kondisi zaman apapun. Sikap ini sangat relevan ketika dihadapkan dengan sekian perubahan zaman. NU tidak lantas gagap atau bahkan apatis menghadapi desakan arus modernisasi yang melahirkan dilema. NU tidak secara vis a vis menyikapi gelombang tersebut, karena bagaimana pun juga peradaban modern merupakan sebuah keniscayahan yang hadir di dunia dengan sekian inplikasi yang dilahirkannya, maka sikap menolak dan melarikan diri kearah dogma agama tanpa adanya pemaknaan kritis, bukanlah sebuah hal yang bersifat solutif. Atas asumsi itulah sikap mengambil jalan tengah, mungkin bisa dijadikan upaya alternatif untuk meletakkan diri kita secara proporsional di tengah peradaban ini. Karena modernisasi bukanlah merombak secara total dengan menafikan tradisi lama, tetapi bagaimana tradisi serta tatanan masyarakat yang lama tersebut bisa diaktualisasikan dengan melakukan reintepretasi ajaran sesuai dengan konteks kekinian.
Dengan sikapnya yang fleksibel, akomodatif dan permisif NU lebih cenderung bisa diterima oleh masyarakat Indonesia pada lapisan bawah (grass root) yang pada masa itu terbawa oleh pengaruh kebudayaan Hindu-Budha kerajaan Majapahit. Pengaruh kuat atas tradisi Hindu-Budha Majapahit bukan lantas dimarginalkan, tetapi tradisi tersebut diberikan makana dan nilai-nilai Islami.
Sikap akomodatif terhadap budaya lokal dalam ritus Islam keseharian, seperti tahlil-mendoakan orang yang telah meninggal bedug dan wayang, adalah wujud nyata ekspresi pemikiran orang-orang NU. Sikap yang selalu mengambil jalan tengah (tawashut) tersebut, pada akhirnya mampu membawa NU menjadi organisasi sosial kemasyarakatan tersebar di Indonesia. Ulama-ulama pendiri NU dengan cepatnya memperoleh dukungan basis masa yang luas. Tidak heran pula jika kemudian mayoritas umat Islam di negeri ini secara kultur dan ritus keagamaan searus dengan NU.
Karena itu, sangat maklum jika ditemukan adanya pemakaian doa qunut dalam shalat Shubuh, pembacaan doa (wiridan) masal sesuai shalat, dan ziarah ke makam para wali. Ritus-ritus itu hanya ada di lingkungan tradisi NU yang diperbolehkan, sedangkan yang lainnya menganggap itu semua sebagai bid’ah (penyimpangan) dari tradisi kerasulan Muhammad SAW.
Dalam konteks membuminya tradisi dan ritus-ritus keagamaan NU itu tadi, tidak heran pula jika di dapati banyaknya pengakuan dari berbagai pihak tentang ke-NU-an dirinya. Pengakuan itu sama sekali tidak bisa disalahkan. Sebab mereka memang dikhitan ala NU, dipondokkan di pesantren NU, bahkan dinikahkan dengan anak-anak orang NU.
3.Al-Jam’iyatul Washliyah
Al Jamiatul Al washiliyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia sesudah Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.Latar belakang berdirinya al-Washliyah sangat erat sekali dengan awal perkembangan dari situasi dan kondisi yang ada di Sumatera Utara (dahulu disebut Sumatera Timur). Di mana Sumatera Timur merupakan wilayah kesultanan yang seiring dibukanya perkebunan besar, daerah ini kemudian menjadi terkenal walaupun hal ini menyebabkan semakin dikuranginya kekuasaan para sultan oleh penguasa Belanda yang pada akhirnya wewenang kesultanan itu hanya terbatas pada bidang keagamaan saja, sehingga daerah ini menjadi migrasi dengan penduduk yang multi etnis.
Dalam lapangan pendidikan keislaman yang ada di Sumatera Timur saat itu masih bersifat tradisional, yang lebih kenal dengan pengajian. Di Sumatera Timur sama dengan di beberapa daerah yang lain di Indonesia, pengajian itu dilakukan oleh anak yang mulai umur 6-12 tahun, selain itu mereka pada usia ini baisanya belajar di sekolah tingkat dasar.
Dengan motivasi yang kuat, seorang syaikh bernama Mohammad Ya’kub berinisiatif mengajak masyarakat Mandailing mengumpulkan dana untuk pembangunan maktab. Gedung maktab ini kemudian berhasil dibangun secara gotong royong oleh masyarakat Tapanuli (Mandailing) yang menetap di Medan, dan selesai tepat pada tanggal 8 Maret 1918 dan kemudian diresmikan pada tanggal 19 Maret 1918. Maktab ini kemudian dinamakan dengan Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) dan kemudian pengajian yang awalnya diadakan di rumah Syaikh Ja’far di pindahkan ke maktab ini. MIT ketika itu termasuk lembaga pendidikan modern, sebab sudah menggunakan sistem kelas, namun tetap mempunyai ciri-ciri tradisional, sebab masih menggunakan sistem hafalan.
Al-Washliyah lahir di Medan, Sumatera Utara. Sebuah kenyataan yang berbeda dimana banyak organisasi lahir di pulau Jawa. AL-Washliyah ini didirikan oleh para pelajar senior Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) pada 30 November 1930. Pada masa itu MIT adalah sebuah institusi pendidikan Islam formal pertama dan ternama di Medan. Lembaga ini resmi didirikan pada 19 Mei 1918 M (9 Sya’ban 1336 H). Para perantau mandailing di Medan telah mensponsori upaya pendirian lembaga pendidikan tersebut. Keberadaan MIT cukup bermanfaat bagi pribumi Muslim karena saat itu belum ada sama sekali sekolah Islam tingkat lanjutan dan modern sehingga seluruh putera-puteri masyarakat Islam hanya memperoleh pendidikan Islam di mesjid dan di rumah ‘ulama setempat. Selain itu, sekolah yang dibangun oleh pemerintah Belanda tidak cukup untuk menampung aspirasi masyarakat Islam. Ini dikarenakan selain sulitnya untuk memasuki sekolah itu bagi anak pribumi, sekolah itu juga tidak pernah memasukkan mata pelajaran agama ke dalam kurikulumnya. Pada akhirnya, MIT menjadi sebuah alternatif strategis dalam upaya memenuhi hasrat berpendidikan Islam bagi komunitas muslim waktu itu.
Dalam catatan sejarah dinyatakan bahwa para MIT memang kreatif dan cerdas. Para pelajar senior MIT mendirikan sebuah kelompok studi (belajar) pada 1928. Bahwa tujuan pokok pendiriannya adalah Debating Club. Kegiatan perkumpulan ini adalah mendiskusikan dan membahas berbagai macam persoalan agama Islam dan sosio-kemasyarakatan. Perkumpulan ini dipimpin para pelajar senior terbaik MIT yang kelak merupakan para pendiri dan pejuang pertama Al-Washliyah. Mereka ini antara lain Abdurrahman Syihab (ketua), Syamsuddin/Kular (sekretaris), Ismail Banda (penasehat), Adnan Nur dan Sulaiman (anggota). Aktifitas kelompok ini dilaksanakan minimal sekali dalam seminggu yaitu setiap malam jum’at.
Melihat perkembangan yang memang cukup signifikan, para eksponen Deabating Club itu berkeinginan untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang jauh lebih besar cakupan kerjanya. Beberapa pertemuan memang telah diselenggarakan untuk membicarakan rencana itu hingga pada akhirnya diadakanlah pertemuan terakhir pada 26 Oktober 1930 di gedung MIT. Pertemuan itu dihadiri oleh para pelajar Islam, para ‘ulama, dan masyarakat Islam di Medan. Pertemuan itu memutuskan untuk mendirikan sebuah perhimpunan untuk kemudian diberikan nama oleh Syaikh Muhammad Yunus dengan “Al-Jam’iyatul Washliyah”. Sebagai langkah awal, ditetapkanlah struktur kepengurusan dengan tugas mempersiapkan beberapa hal menyangkut keorganisasian seperti rancangan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) organisasi.
Setelah persiapan matang, diadakanlah pertemuan akbar pada tanggal 30 November 1930 guna mendeklerasikan perhimpunan bernama A-Jam’iyatul Washliyah ini. Sistem keorganisasian juga menjadi objek pembahasan. Para peserta pertemuan itu memberikan respon positif terhadap rancangan-rancangan keorganisasian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Pada akhirnya, diresmikanlah Al-Jam’iyatul Washliyah ini dengan susunan kepengurusan sebagai berikut :
Ketua : Ismail Banda
Wakil ketua I : Abdurrahman Syihab
Sekretaris : Muhammad Arsyad Thalib Lubis
Sekretaris I : Adnan Nur
Bendahara : H.M. Ya’kub
Anggota : H. Syamsuddin, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Abdul Malik, dan Abdul Azis Effendi
Penasehat : Syaikh Muhammad Yunus
Faktor-faktor pendorong berdirinya Al-Washliyah paling tidak ada dua hal. Pertama. Semangat nasionalisme. Al-Washliyah berdiri pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, semangat ingin bersatu mulai timbul di tengah-tengah masyarakat. Di tanah air ketika itu telah lahir sejumlah organisasi seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Demikian pula persatuan umat Islam di Sumatera Timur ketika itu begitu kental, hal ini ditandai banyaknya pesantren, Rumah Suluk,, Pengajian dan kelompok (perserikatan) umat Islam timbul dimana-mana. Kedua. Latar belakang sosio-keagamaan dengan munculnya masalah khilafiyah di tengah masyarakat.
Pemikiran dan doktrin Al-Jamiatul Al-Washliyah
Dalam bidang doktrin keagamaan terdapat perbedaan yang sangat jauh dengan Muhammadiyah, kerena al-Washliyah berpegang teguh dengan mazhab Syafi’i. Jika dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya, misalnya Muhammadiyah, bisa dianggap berseberangan dengan organisasi al-Washliyah. Al-Washliyah adalah termasuk aliran tradisional yang bisa mewakili kaum tua, sebab jika dilihat dari awal munculnya al-Washliyah adalah karena begitu kuatnya pengaruh Muhammadiyah yang mengklaim dirinya sebagai aliran tajdid.
Al-Washliyah, menurut Boland sebagaimana yang dikutip oleh Steenbrink, dapat disebut sangat ortodoks dengan ejekan konservatif. Meskipun Steenbrink sendiri menyatakan bahwa tidak cukup objektif kalau organisasi al-Washliyah hanya dilihat dari beberapa faktor yang negatif dan ekstrem saja, yaitu menolak cita-cita dari kelompok lain, sebab aliran ini juga bisa dikatakan modern ini karena cikal bakal berdirinya al-Washliyah adalah dari para pelajar MIT yang merupakan sekolah Islam mdern di Medan saat itu.
Namun dalam aspek pemahaman pemahaman keagamaan, Steenbrink pernah menjelaskan bahwa cap “tradisional”, ia mencontohkan bahwa dari kumpulan fatwa yang diterbitkan oleh al-Washliyah, yang pada umumnya berasal dari fatwa Arsyad Thalib Lubis, yang awalnya adalah brosur-brosur kecil. Persoalan yang dibicarakan hampir sama dengan isi karya Sjaruddin Abbas dalam bukunya 40 masalah agama. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Taufik Abdullah yang mengkategorikan pola pemikiran ulama al-Washliyah ke dalam kelompok tradisional. Namun menurut Steenbrink, cap “reformis” juga bisa ditujukan kepada al-Washliyah, hal ini dibuktikan untuk mengirim mahasiswa ke Kairo serta usaha mendirikan sekolah umum, yang mengikuti model Gubernemen.
Dalam bidang keagamaan sesuai dengan fungsi yang diembannya, terkait persoalan hukum yang mereka keluarkan. Pendapat hukum yang mereka keluarkan hanyalah sebatas fatwa, yang dirujuk kepada pendapat ulama klasik. Di kalangan ulama al-Washliyah menganggap bahwa hanya para ulama terdahulu saja yang mampu menetapkan hukum.
Al-Washliyah melalui Dewan Fatwanya berprinsip bahwa mereka tidak menolak ijtihad, tetapi karena mereka menganggap diri mereka belum memiliki kemampuan dan kapasitas intelektual yang memadai untuk melakukan ijtihad, sehingga mereka tidak merasa diri mereka sebagai Mujtahid, tetapi adalah mengambil sebuah keputusan fatwa mereka tetap berpedoman dengan AD/ART yaitu dengan berpedoman dan mengikuti (taqlid) dengan pendapat yang dinyatakan oleh mazhab Syafi’i.
Berbeda dengan al-Washliyah, organisasi pembaharuan lain seperti Muhammadiyah dan Persis hanya mengakui Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum dan menolak bertaqlid. Menurut mereka taqlid ini akan menyebabkan manusia itu tidak mampu menggunakan akal, sehingga timbul paham yang jumud (beku). Paham ini mengakibatkan manusia tidak mampu mengikuti perkembangan zaman karena menganggap pintu ijtihad telah tertutup. Di samping itu, Persis juga mengakui ittiba’ yaitu mengikuti satu pendapat dengan mengetahui dalilnya dari Al-Qur’an dan Hadits. Menurut Deliar Noer, pengakuan tentang ijtihad dan kembali pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum seperti ini, tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan barangsur-angsur, terkadang disebabkan oleh tantangan yang datang dari golongan tradisi. Ia memberi contoh Minangkabau, di sini taqlid diarahkan kepada golongan adat, sedangkan imam-imam pendiri mazhab tetap dihormati sebagai Mujtahid.
Sikap organisasi pembaharu tersebut sangat berbeda jauh dengan al-Washliyah. Secara jelas, organisasi ini bertaqlidnya kepada mazhab Syafi’i. Dalam Anggaran Dasar Al-Washliyah tahun 1955 dan 1977 disebutkan bahwa “perkumpulan ini berasakan Islam, dalam fiqih bermazhab Syafi’i, dan dalam ‘itikad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Belakangan, asas dan akidah al-Washliyah mengalami sedikit perubahan redaksi bahwa “al-Washliyah berasaskan Islam dalam I’tikad, dalam hukum fiqih bermazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dengan mengutamakan mazhab Syafi’i. Berpaham dengan mazhab Syafi’i dimaksudkan untuk memperkuat persatuan dan kesatuan dengan menghimpun orang-orang yang sepaham untuk berjuang membangun sesuatu yang menjadi tuntutan agama demi kepentingan umat Islam dan warga Al-Washliyah khususnya.
Penyebutan bermazhab Syafi’i bukan berarti Al-Washliyah tidak menghormati pendapat mazhab lain. Karena Al-Washliyah menyadari bahwa hukum adalah hasil ijtihad yang bersifat zhanni yang tidak mempunyai kebenaran absolut dan Al-Washliyah bersikap tasamuh (toleran) terhadap segala perbedaan pendapat dan paham. Perbedaan merupakan hal yang wajar dan tidak perlu membawa perpecahan umat. Penyebutan bermazhab Syafi’i di dalam Anggaran Dasar organisasi ini adalah supaya menunjukkan tempat berpijak dalam fiqih sekaligus referensi hukum bagi Al-Washliyah dalam mengahadapi persoalan hukum yang timbul.
Warga Al-Washliyah yang sudah terbiasa dengan warisan dan peninggalan ulama salaf al-shalihin mencoba mentradisikan dengan tetap memperhatikan perkembangan zaman. Artinya, tradisi yang ada di tengah-tengah masyarakat Islam seperti ushalli, talqin, tawassul, dan ucapan sayyidina tetap dipertahankan, karena semua ini sudah mendarah daging bagi warga organisasi yang menjadikan fiqih Syafi’i dalam kegiatan amal ibadahnya.
Dalam teologi, al-Washliyah menjadikan aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah sebagai aliran teologi resmi organisasi. Ajaran kedua aliran teologi ini sangat mempengaruhi pola pikir warga Al-Washliyah. Berbagai lembaga pendidikan organisasi ini mengajarkan kitab-kitab teologi dari kedua aliran teologi tersebut. Ulama-ulama al-Washliyah sendiri banyak berasal dari alumni berbagai universitas Kairo, Baghdad, Libia, Makkah dan Madinah, dan India, tempat di mana ajaran teologi Sunni diajarkan. Sejumlah ulama al-Washliyah bahkan telah menulis sejumlah karya teologi Asy’ariyah, misalnya Muhammad Arsyad Thalib Lubis Nukman Sulaiman, dan Ramli Abdul Wahid, selain menulis karya fiqih Syafi’iyah.
Tidak seperti NU, al-Washliyah, menurut Hasanuddin, tidak mengembangkan pemikiran tasawuf. Akan tetapi, fakta membuktikan bahwa beberapa ulama al-Washliyah pernah menulis karya tasawuf, misalnya Adnan Lubis. Dengan demikian, tertolaklah pendapat Hasanuddin bahwa al-Washliyah tidak mengembangkan tasawuf. Akan tetapi, secara organisasi, al-Washliyah memang tidak mencantumkan tasawuf sebagai bagian dari praktik keberagamaan organisasi ini. Namun, sejumlah tokoh dan ulama organisasi ini pernah menulis, memahami dan mempraktikkan ajaran tasawuf. Penelitian tentang praktik tasawuf dalam organisasi seperti al-Washliyah memang belum dilakukan oleh siapa pun, karenanya ini adalah ladang penelitian yang cukup menarik.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar