RUNNING TEXT
Jumat, 10 Maret 2017
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM ;
LATAR BELAKANG DAN BENTUK
0leh :
Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag, S.PdI, MA
A. Pendahuluan.
Sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, merupakan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab dipinggiran imperium Usmani.Gerakan Wahabi sebuah gerakan puritan (gerakan Salafiyah) yang merupakan sarana yang menyiapkan jembatan kearah pembaharuan Islam abad ke-20 yang bersifat intlektual. Gerakan pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara massif dengan munculnya banyak tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai negara, seperti Mesir, Iran, Pakistan (India), dan Indonesia. Gagasan pembaruan tersebut dimunculkan melalui istilah dan aksentuasi yang berbeda, antara lain tajdid (renewal, pembaruan) dan ishlah (reform, reformasi), baik yang bertendensi puritanistik dari segi ajaran maupun revivalistik dari segi politik. Makalah ini, mengenalkan kepada mahasiswa gerakan modern dalam Islam yang dipelopori oleh tokoh maupun organisasi Islam di beberapa negara.
Makalah ini akan menguraikan tentang latar belakang gerakan pembaharuan yang terjadi dalam Islam, ruang lingkup, tujuan, tipologi gagasan, tokoh-tokohnya dan beberapa gerakan pembaharuan di negara-negara muslim.
B. Latar Belakang dan Orientasi
1. Dampak Perang Salib
Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (492 H/1099 M–539 H/ 1144 M) membawa dampak yang sangat berarti terutama bagi Eropa yang beradabtasi dengan peradaban Islam yang jauh lebih maju dari berbagai sisi. Perang Salib menghasilkan hubungan antara dua dunia yang sangat berlainan. Masyarakat Eropa yang lamban dan enggan terhadap perdagangan dan pendapatnya yang naïf terhadap dunia usaha.
Secara sederhana dampak Perang Salib dapat dijelaskan sebagaimana berikut: Pertama : Perang salib yang berlangsung antara Bangsa Timur dengan Barat menjadi penghubung bagi Bangsa Eropa khususnya untuk mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti yang cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan peradaban Timur yang lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran kedua wilayah tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan di Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan intelektual dan tata kehidupan Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam gerakan renaisance di Eropa.
Kedua : Pra Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan perdagangan ke Bangsa Timur, namun setelah Perang Salib interaksi perdagangan pun dilakukan. Sehingga pembauran peradaban pun tidak dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat serta kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap perkembangan ekonomi Bangsa Eropa. Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan ekonomi semata sudah berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian Eropa.
Perang salib telah menjadi media hubungan dan perkenalan dua kultur dan peradaban yang berbeda yang pada masa selanjutnya akan membawa dampak lain di segala bidang.
Di kalangan ummat Islam itu sendiri muncul kemandegan berpikir. Kemandegan berfikir ini penjelmaan dari tingkat puncak kejenuhan terhadap filsafat yang mengedepankan rasio dalam segala hal. Kemandegan berfikir di kalangan ummat Islam merupakan pengaruh dari ajaran sufi yang tidak dibarengi dengan ajaran filsafat. Hal itu menimbulkan dampak statisnya ummat Islam.
Di sisi lain, negara-negara Barat yang telah berhubungan dengan Islam mulai menjajah negara-negara Islam. Penjajahan Eropa terhadap negara-negara Islam hampir terjadi di seluruh belahan dunia. Kondisi yang kompleks dan memprihatinkan tersebutlah yang kemudian melahirkan gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam.
2. Ekspansi Napoleon
Pada tahun 1789 Mesir dibawah kekuasaan Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Di samping itu juga ingin memperkenalkan kebudayan yang maju di saat itu yang dimiliki oleh mereka, yang mana pada hakikatnya kemajuan itu bersumber dari Islam dan dikembangkan oleh mereka.
Ternyata selain gerakan militer ia juga mendatangkan keperluan ilmiah berupa dua set alat percetakan dengan huruf latin, Arab dan Yunani. Dengan demikian terbentuklah lembaga pendidikan yang dinamai dengan d’Egypte, yang terdiri dari beberapa jurusan seperti Ilmu Pasti, Ilmu Alam, Ekonomi-Politik, dan Sastra Seni.
Kemajuan yang dimiliki bangsa Eropa saat itu membuat para ulama Islam merasa takjub dan menyadari akan keterbelakangan umat Islam ketika itu, seperti yang dinyatakan Abd Al-Rahman Al-Jabarti dalam kata-katanya tatkala ia melihat alat-alat ilmiah seperti teleskop, mikroskop, dan buku-buku yang ada di Institut d’Egypte:
“Saya lihat di sana benda-benda dan percobaan-percobaan ganjil menghasilkan hal-hal yang besar untuk dapat ditangkap oleh akal seperti yang ada pada diri kita”.3
Dengan demikian ekspedisi Napoleon telah membuat kesadaran dan membuka mata umat Islam Mesir dari kelemahan yang mereka miliki.
C. Tipologi, Tema, Tujuan, bentuk-bentuk Pembaharuan Pendidikan Islam.
Pada dasarnya kehadiran para tokoh modenis (pembaharu) itu pada umumnya untuk membangkitkan kesadaran keagamaan umat Islam.Diantara tokoh-tokoh gerakan-gerakan pembaharuan Islam pada abad-abad sebelum abad 19 dan sesudahnya memiliki kesamaan-kesamaan dasar, yaitu:
1. Gerakan itu berasal dari masyarakat Islam itu sendiri.
2. Gerakan tersebut pada dasarnya merupakan kritik terhadap pemahaman yang mandeg terhadap ajaran Islam yang menghasilkan manusia muslim yang menjauhi tugas-tugas manusia dalam pergumulan sosial di dunia konkrit.
3. Gerakan pembaharuan menekankan pada pentingnya rekontruksi sosio-moral dan sosio-etnik masyarakat muslim.
Yang menjadi tema sentral gerakan pembaharuan yang terjadi di kalangan masyarakat muslim adalah:
1. Ajaran Islam dari segi sosial, yakni sejauh manakah Islam mengajarkan keadilan sosial, ekualitas antara pria dan wanita dan sebagainya.
2. Hubungan antara Agama dan negara dan pandangan Islam terhadap sekularisme.
3. Masalah-masalah pembaharuan hukum.
4. ajaran-ajaran Islam di bidang ekonomi.
5. pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Jadi dapat dikatakan bahwa gerakan pembaharuan itu menginginkan pembaharuan dalam apsek sosial yang meliputi pendidikan, hukum, politik, moral dan sebagainya.
Beberapa dasar atau bentuk bentuk pembaharuan, seperti yang diajarkan oleh Muhammad Abduh adalah:
Dasar pertama: Penghargaan terhadap akal,Abduh mengatakan bahwa Islam adalah agama yang rasional yang sejalan dengan akal, sebab dengan akallah ilmu pengetahuan maju.Pandangan rasional dalam mencapai iman. Asas pertama yang diletakkan Islam adalah rasional dalam memandang segala sesuatu, karena hanya dengan pandangan secara rasional itulah wasilah yang bisa menghatarkan pada iman yang benar.
Dasar kedua: mendahulukan akal atas dzahir nash jika terjadi pertentangan. Dan metode dalam membaca nash di bagi dua : pertama, menyerahkan keabsahan nash dengan kesadaran akan kelemahan akal untuk memahaminya dan menyerahkan hakikatnya pada Allah. Kedua, mentakwil dzahir nash hingga memiliki makna yang tidak bertentangan dengan akal.
Dasar ketiga: menjauhkan diri dari sikap pentakfiran, adapun ucapan Abduh yang terkenal dalam hal ini ialah bila terucap dari seseorang sebuah kalimat yang memiliki kecenderungan kafir dari seratus sisi dan memiliki kecendrungan pada iman dari satu sisi maka kewajiban kita untuk menilai dia sebagai seorang yang beriman dan bukan seorang kafir.
Dasar keempat: pengakuan atas sunnatullah di alam. Sesungguhnya pada alam dan masyarakat terdapat sunnatullah yang menciptakan adanya undang-undang sebab akibat tentang alam semesta.
Dasar kelima: menghilangkan otoritas keberagamaan, sebagaimana Islam menghilangkan otoritas keagamaan yang hanya dimiliki sesorang. Dan selain Allah dan rasulnya tidak ada yang memiliki otoritas dan hak untuk menilai akan akidah seseorang, apakah dia seorang yang beriman atau kafir. Yang terdapat dalam Islam hanyalah mauidzah hasanah, seruan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan bukan pengadilan atas akidah seseorang.
Dasar keenam: meneruskan dakwah Islam untuk mencegah fitnah, ada ungkapan bahwa Islam adalah agama jihad, disyari’atkan di dalamnya qitaal (perang) sebagaimana tidak terdapat di agama masihi, sebagaimana ada ungkapan bahwa ruh Islam adalah keras terhadap yang berbeda denganya. Abduh ingin menegaskan bahwa Islam lahir dengan tabiat toleransi. Andaipun di Islam dikenal dengan qitaal (perang) maka ia dimaksud untuk membalas perlawanan yang diperolehnya sebelumnya. Dan tidak terdapat dalam Islam pemaksaan atas nama agama dan permusuhan terhadap yang berbeda denganya.
Dasar ketujuh: menumbuhkan sikap cinta terhadap para pemeluk agama yang berbeda. Ini dipertegas dengan diizinkanya oleh Islam untuk menikah dengan wanita ahlul kitab, Yahudi maupun Nasrani. Dan diberikannya kebebasan padanya untuk tetap memeluk agama asalnya dan menjalankan segala ibadahnya dan juga hak untuk berpegian ke gereja.
Dasar kedelapan: penggabungan antara maslahat dunia dan akhirat. Kehidupan dalam Islam lebih didahulukan daripada sebuah agama. Islam tidak membenarkan adanya rahbaniyyah, Islam juga tidak melarang semua kenikmatan di dunia sebagaimana diwajibkanya puasa, namun bila dia takut denganya akan sakit ataupun semakin bertambah penyakitnya maka Islam pun membolehkan untuk mengganti di hari lain. Dan ini semua menggambarkan dengan jelas atas keseimbangan maslahat agama dan dunia.
Dasar kesembilan : Memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Al-Azhar.
D. Pembaruan dan Modernisasi Pendidikan dalam Islam.
Pada prinsipnya, pembaru Islam adalah orang yang memikirkan dan menyikapi fenomena kehidupan, agar umat terbebas dari belenggu sistem yang stagnan menuju kemajuan (modern) dengan tetap berpegang pada nilai-nilai Islam hakiki. Jalan mereka untuk membebaskan dan memajukan umat ini pun sangat heterogen, ada yang akomodatif, provokatif, dan radikal.
Munculnya para pemikir dan pembaru pada akhir abad ke 19 M dan awal abad ke 20 seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), Muhammad bin Abdil-Wahab (1703-1792 M), Hasan Al-Banna (1906-1949 M), Abul A’la Al-Maududi (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906-1968 M), dan Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966 M), yang kemudian melahirkan apa yang disebut fundamentalisme, modernisme, tradisionalisme, sekularisme Islam, nasionalisme, dan lain-lain adalah bentuk-bentuk riil dari hasil interaksi intensif antara Islam dan persoalan kemasyarakatan.
Kemunduran umat Islam membuat kalangan intelektual Muslim berpikir keras bagaimana mengentaskan ketertinggalan umat Islam agar dapat berdiri sejajar dengan umat lain. Dalam rangka memajukan umat Islam dan mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, Jamaluddin Al-Afghani misalnya, lebih menitikberatkan pada nasionalisme Muslim dan persatuan umat Islam (Pan-Islamisme) untuk membebaskan umat Islam dari cengkraman penjajah, sedangkan Muhammad Abduh lebih banyak berorientasi pada bidang pendidikan dan pemahaman keagamaan dengan menghidupkan kembali ajaran rasional mu’tazilah dan menolak taklid buta. Tak heran jika banyak orang menyebut pemikiran Abduh sebagai Neo-Mu’tazilah.
Rasyid Ridha, salah seorang murid Abduh, dalam modernisasi umat Islam ia menganjurkan untuk kembali ke Alquran dan Sunnah. Menurut Ridha, dalam setiap menyelesaikan masalah umat Islam harus berpaling ke dua sumber tersebut, dan tidak perlu berpaling ke Barat. Ridha juga menekankan pembaruan dalam bidang hukum, untuk hal ini memerlukan restorasi Khilafah Islamiyah. Menurutnya, sistem politik Islam yang benar adalah sistem khilafah, di mana khalifah berkonsultasi kepada ulama karena ulama adalah penafsir hukum Islam. Meskipun Ridha mendukung berdirinya sistem khilafah, tetapi ia juga mendukung nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme tidak akan melemah persatuan umat Islam transnasional (Pan-Islamisme) hingga ideal Islam tetap utuh.
Muhammad bin Adil-Wahab menginginkan masyarakat Islam mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. secara murni. Gerakan yang dimotorinya adalah gerakan yang bermaksud mengadakan purifikasi (pemurnian) atas ajaran Islam yang telah bercampur dengan budaya lokal. Dia menolak segala bentuk kemusyrikan seperti menziarahi kuburan orang-orang suci dengan maksud meminta berkah dan menyerang praktik-praktik aliran sufi yang dianggapnya sebagai bid’ah. Ia menganjurkan kembali ke Alquran dan Sunah dan menolak otoritas masa lampau dengan tetap menghormatinya. Pemikiran Abdil-Wahab ini diilhami oleh paham Ibnu Taimiyah, yang secara rutin menyerukan untuk kembali ke “asal-usul” Islam. Berbeda dengan Ibnu Taimiyah, dalam memberantas apa yang dianggapnya salah, Abdil-Wahab menggunakan kekuatan bersenjata dan kekerasan.
Hasan Al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimun), Al-Mawdudi (Pendiri Jema’at Islam), dan Sayyid Quthb (ideolog Ikhwanul Muslimun), adalah tokoh-tokoh yang sama berjuang melawan pemerintah yang tengah berkuasa yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Merekalah, menurut L. Carl Brown (Wajah Politik Islam, 2003: 234), yang memberikan landasan idologis bagi gerakan-gerakan radikal dari kelompok Sunni. Mereka dianggap sebagai inspirator yang melahirkan gerakan-gerakan radikal di seluruh penjuru dunia Islam, karangan-karangan mereka merupakan buku yang wajib dibaca bagi mereka yang masuk dalam gerakan-gerakan radikal. Berbeda dengan Brown yang memandang Hasan Al-Banna sebagai fundamentalis, Karen Armstrong melihat Al-Banna tidak sebagai fundamentalis tapi sebagai reformis yang menginginkan reformasi fundamental masyarakat Islam.
Sementara itu, modernisasi umat Islam untuk mengejar ketertinggalan dari masyarakat Barat, menurut Abdurraziq mensyaratkan pemisahan mutlak antara negara dan Islam. Menurut Raziq, Islam tidaklah datang tidak untuk membentuk sebuah negara dan begitu juga Nabi Muhammad Saw. hanyalah seorang nabi yang bertugas menyampaikan risalahnya, beliau tidak punya kewajiban membentuk sebuah negara. Menurut Abdurraziq, Islam tidak mengenal adanya lembaga kekhalifahan sebagaimana secara umum dipahami oleh kaum Muslim. Lembaga kekhalifahan tidak ada kaitannya dengan tugas-tugas keagamaan. Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan kekhalifahan dan juga tidak melarang. Agama (Islam) menyerahkannya kepada pilihan kita yang bebas.
E. Aspek-aspek gerakan pembaharuan Pendidikan Islam.
1. Mesir
Para tokoh dalam pembaharuan di Mesir ini antara lain: Muhammad Ali Pasya, beliau di lahirkan di Kawwala, Yuai tahun 1765 M dan wafat tahun 1849 M di Mesir.Sejak kecil ia memiliki ketrampilan dan kecerdasan yang luar biasa.Dalam perjalanan karirnya, banyak usaha yang dilakukannya untuk memperbaharui atau memodernisir keadaan umat Islam yang telah jauh tertinggal dari negara-negara barat. Ia adalah salah seorang perwira yang dikirim ke Mesir oleh Sultan Salim III (1789-1807) untuk melawan Napoleon yang telah menguasai seluruh Mesir.Setelah Muhammad Ali Pasya dapat menguasai Mesir pada tahun 1811, ia mulai membangun negeri itu dengan membentuk kementrian Pendidikan, membuka Sekolah Militer (1815), Sekolah Teknik (1816), Sekolah Kedokteran (1827), Sekolah Pertambangan (1815), Sekolah Penerjemahan (1836), dan Sekolah Apoteker (1829). Adapun para pengajar di datangkan dari Barat, dan semua ceramah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan Turki.
Rifa’ah Badawi Rafi’ Al-Tahtawi, seorang pembaharu yang memiliki pengaruh yang sangat besar pada abad ke-19 di Mesir. Lahir pada tahun 1801M di Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bahagian Selatan, dan wafat di Cairo tahun 1873 M. ia menyelesaikan studinya di Al-Azhar tahun 1822 M, menjadi kesayangan gurunya Syaikh Hasan Al-Attar yang banyak mempunyai hubungan dengan ahli-ahli ilmu pengetahuan Perancis yang datang dengan Napoleon ke Mesir. Tahtawi menjadi guru dialmamaternya di Universitas Al-Azhar selama 2 tahun dan pada tahun 1824 menjadi imam tentara14 .Karena mendapat dorongan yang kuat dari gurunya al-‘Attar dan kesempatan yang diberikan oleh Muhammad Ali Pasya kepadanya,maka Ia melanjutkan studinya ke Perancis dan menjadi Imam para pelajar Mesir di Prancis.Selama belajar di Prancis ia banyak membaca buku karya tokoh-tokoh besar umat Islam dan bangsa barat.Dengan ketekunan belajar bahasa Prancis secara otodidak, akhirnya ia mampu menyaingi kehebatan pelajar-pelajar Mesir lainnya yang belajar bahasa itu secara formal di kelas-kelas.Selama di Prancis pula ia menterjemahkan buku-buku yang berbahasa Perancis ke dalam bahasa Arab sebanyak 12 buku dan risalah. Sekembalinya dari luar negeri ia pun di beri kepercayaan untuk mendirikan Sekolah penerjemah tahun 1836 M dan diangkat sebagai guru bahasa Perancis dan penerjemah di sekolah Kedokteran di Cairo. Tahtawi berpendapat bahwa penerjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab amat penting agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat, dan dengan demikian umat Islam akan bisa pula untuk berusaha memajukan diri mereka dengan usaha yang kuat. Salah satu karangan bukunya yang sangat memberikan pengaruh kepada kemajuan bagi orang Mesir adalah manaahiju al-albaabi al-mishiyati fi manaahiji al-adabi al-‘ashriyati,buku yang menerangkan jalan bagi orang Mesir untuk mengetahui leteratur modern dalam bidang ekonomi bagi kemajuansuatu negara. Ia juga berpendapat bahwa kaum ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syari’at dengan kebutuhan-kebutuhan modern.Disamping itu, ia juga aktif menulis di koran “ Al-Waqa’I al-Mishriyah”.
Jamaluddin Al-Afghani, nama aslinya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan dalam Islam yang selalu berkelana, dan meninggalkan pengaruh yang amat besar di Mesir. Lahir di Assad (Afghanistan) tahun 1938 M, dan wafat pada tahun 1897 M di Istambul.Sejak kecil ia sudah belajar membaca al-Qur’an, belajar bahasa Arab, Persia dan ilmu-ilmu tafsir, hadis, tasauf dan filsafat. Pada usia 20 tahun ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Menjadi penasehat Sher Ali Khan tahun 1864 M. Kemudian diangkat mejadi perdana mentri oleh Muhammad A’zam khan.Jamaluddin al-Afghani memiliki kecerdasan dan kepribadian yang menarik dan banyak memperoleh pengalaman selama mengembara ke berbagai negara seperti India dan Mesir.Kemudian beliau juga pernah menjadi dosen kaum Intlektual di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Pada tahun 1879 atas usaha dari Al-Afghani terbentuk sebuah partai politik yang dinamai dengan Al-Hizb Al-Watani (partai nasional). Yang mana partai ini bertujuan memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur Mesir ke dalam setiap posisi militer. Menurut M.S. Madkur, Al-Afghanilah yang membangkitakan gerakan berfikir di Mesir sehingga negeri ini dapat mencapai kemajuan. Di lain sisi banyak tanggapan yang mengatakan bahwa sanya Al-Afghani lebih aktif bergerak dibidang politik ketimang pembaharuan dalam Islam. Oleh karena itu Goldziher memandang bahwa ia adalah tokoh politik dan bukan tokoh pembaharuam dalam agama Islam. Walaupun demikian perlu kita ketahui bahwa aktifitas politik yang dilakukan Al-Afghani adalah merupakan landasan dasar dari ide-idenya tentang pembaharuan dalam Islam. Ia meyakini bahwa Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan keadaan. Yang kesemua itu baru dapat dirasakan dengan mendalami ilmu dan mengertis serta sanggupuntuk berijtihad, oleh karena itu hendaknya pintu ijtihad di buka kembali setelah sekian lama terkunci oleh penetrasi Barat. Selain itu sebab dari kemunduran yangbersifat politis adalah perpecahan yang terdapat di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, mempercayakan pimpinan umat kepada orang-orang yang tidak dapat dipercayai, mengabaikan masalah pertahanan militer, menyerahkan administrasi negara kepada orang-orang yang tidak kompeten dan intervensi asing. Dan menurut Al-Afghani untuk memperbaiki hal ini adalah melenyapkan pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya, dan kembali kepada ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya, mensucikan hati, berbudi pekerti luhur, kesediaan berkorban untuk kepentingan umat, dengan demikian umat Islam akan dapat kembali merebut kejayaan yang telah pernah ia miliki berabad-abad yang lalu. Semasa hidupnya, Al-Afghani selalu berusaha untuk dapatmewujudakn persatuan di kalangan umat Islam di bawah satupanji Islam. Tujuannya ini terkandung dalam ide pan-Islam (persatuan seluruh umat Islam), tetapi usahanya tidak berhasil dengan mulus.Karena persoalan politik di Mesir, Jamaluddin pergi ke Paris Prancis.Di kota ini ia mendirikan sebuah organisasi bernama al-Urwatul Wutsqa yang beranggotakan muslim militan dari India, Syiria dan Afrika Utara yang bertujuan memperkuat persaudaraan Islam, membela dan mendorong umat Islam untuk mencapai kemajuan baik di bidang politik, sosial, pendidikan dan mengembalikan kejayaan umat Islam itu sendiri.
Muhammad Abduh, ia lahir pada tahun 1849 M, di suatu desa di Mesir Hilir, dan menurut sebahagian dilahirkan pada tahun 1842 M. keturunan dari Turki-Arab, ayahnya Abduh Hasan Khairullah (Turki) dan ibunya (Arab) yang silsilahnya sampai pada suku Umar bin Khattab. Belajar agama di Tanta di sebuah Masjid yang bernama Syekh Ahmad Al-Badawi pada tahun 1862, pada tahun 1866 ia meneruskan studinya ke Al-Azhar, dan di sana ia bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani dan menjadi muridnya. Muhammad Abduh menyelesaikan studinya di Al-Azhar tahun 1877 M dan mendapat gelar Alim. Selanjutnya, ia mengajar di Al-Azhar, Dar Al-Ulum. Menjadi direktur surat kabar Mesir pada tahun 1880 M. ia juga berperan dalam peristiwa revolusi Urabi Pasya (peristiwa pemboman Alexandria dari laut oleh pasukan Inggris pada tahun 1882. di tahun 1894, ia diangkat menajdi anggota Majlis A’la dan Al-Azhar, dan ia membawa perobahan-perobahan dan perbaikan ke dalam tubuh Al-Azhar sebagai Universitas. Dan tahun 1899, ia diangkat menjadi Mufti Mesir dan ini merupakan kedudukan yang tertinggi yang pernah dijabatnya sampai ia meninggal dunia tahun 1905 M.Sebagai rektor (mufti) Al-Azhar, ia memasukkan kurikulum filsafat dalam pendidikan di Al-Azhar.Upaya itu di lakukan untuk mengubah cara berfikir orang-orang Al-Azhar.Namun usahanya ini mendapat tantangan keras dari para Syeikh Al-Azhar lainnya yang masih berfikiran kolot.Oleh karena itu, usaha pembaharuan yang di lakukannya lewat pendidikan di Al-Azhar tidak berhasil. Kemudian menurut pemahaman dari ide-ide Muhammad Abduh tentang pembaharuan dalam Islam bahwa kemunduran yang terjadi pada umat Islam disebabkan adanya faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam. Jumud bermakna statis, tak ada perubahan. Karena paham ini umat Islam berpegang kepada tradisi, hal iniditerangkannya dalam Al-Islam Din Al-Ibn wa Al-Madaniah, dan kejumudan ini adalah merupakan hal yang bid’ah dalam Islam. Selain itu menurut beliau selain kembali pada ajaran Islam yang asli juga harus perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang. Untuk menyesuaikan dasar-dasar itu dengan situasi modern perlu diadakan interprestasi baru, dan untuk itu perlu pintu ijtihad di buka.sebaliknya paham taklid menurut beliau membuat umat Islam berhenti berfikir dan akal mereka akan berkatrat. Dan taklid inilah yang menghambat bangsa Arab, perkembangan susunan masyarakat Islam, syari’at, sistem pendidikan dan sebagainya. Pendapat tentang pembukaan pintu ijtihad dan pemberantasan taklid, berdasarkan pada kepercayaannya pada kekuatan akal. Namun Alquran juga ada membicarakan tentang penggunaan akal, dan Islam memandang bahwa akal memiliki kedudukan yang tinggi. Seperti yang kita lihat dalam Alquran.
Sekolah-sekolah modern perlu dibuka guna menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan modern. Mempermodern sistem pelajaran di Al-Azhar menurut pendapatnya akan mempunyai pengaruh besar dalam berkembangnya usaha-usaha pembaharuan dalam Islam. Dan usaha-usaha nya dalam mengadakan pembaharuan itu terbentur pada tantangan kaum ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perobahan-perobahan yang dianjurkannya. Selanjutnya ia juga memikirkan sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mendidik tenaga-tenaga yang perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Penadapat dan ajarannya yang mempengaruhi dunia Islam pada umaumnya terutama dunia Arabadalah melalui karangan-karangan Muhammad Abduh melalui tulisan para muridnya, seperti majalah Al-Manar dan Tfsir Al-Manar oleh Muhammad Ridha, Tahrir Al-Mar’ah oleh Kasim Amin, dan lain sebagainya.
Muhammad Rasyid Rida, ia adalah seorang murid Muhammad Abduh yang terdekat. Lahir pada tahun 1865 M di Al-Qalamun (sebuah desa di Lebanon yang mendekati kota Tripoli (Suri). Menurut suatu sumber ia berasal dari keturunan Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Semasa kecil ia belajar di madrasah Al-Kitab tradisional di Al-Qalamun, kemudian ia meneruskan studi ke Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiah (sekolah nasional Islam) pada tahun 1882 di Tripoli. Ide-idenya banyak dipengaruhi oleh gurunya Al-Syaikh Husain Al-Jisr, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al-Afghani. Dan ia mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu di Syuria, namun usahanya itu gagal. Kemudian ia pindah ke Mesir, dan bertemu dengan Muhammad Abduh pada tahun 1989, dan ia membantunya dalam menerbitkan majalahyang termasyhur, Al-Manar. Lalu ia melihat perlu diadakannya tafsir yang dilakukan secara modern, dengan kata lain yang sesuai dengan ide-ide yang lahir dari gurunya. Atas desakannyaakhirnya Muhammad Abduh mengajarkan terjemahan tafsir Qur’an di Al-Azhar pada tahun 1899, dan tafsir itu diteruskan oleh beliau setelah gurunya wafat. Ia juga melihat perlu adanya pembaharuan di dalam bidang pendidikan, oleh karena itu ia menggabungkan antara ilmu agama dengan ilmu umum seperti pelajaran teologi, pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga. Pada tahun 1909 datanglah kepadanya keluhan-keluhan dari negara lain tentang adanya gerakan missi kristenisasi yang manaketika itu ia ingin mendirikan sebuah sekolah, lalu ia pergi ke Cairo untuk mencari bantuan pada tahun 1912, dan dapat didirikanlah sekolah yang dimaksud dengan nama Madrasah Al-Dakwah wa Al-Irsyad. Para lulusan dari sekolah ini akan dikirim ke berbagai dunia Islam yang memerlukan bantuan mereka. Dan sekolah itu tidak berumur panjang karena meletusnya perang dunia I.
Ia terus menggencarkan semangat pembaharuan sampai pada masa tuanya, dan ia wafat tahun 1935. adapun pemikiran pembaharuan yang dimilikinya tidak jauh beda dari Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani, yang mana ia berpendapat bahwa Islam ini mengalami kemunduran karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Terhadap sikap fanatik yang ada pada zamannya ia menganjurkan supaya dihidupkan lagi toleransi bermazhab. Dan ia menganjurkan pembaharuan dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum, selanjutnya ia menambahkan bahwa penyebab dari kemunduran ini adalah terjadinya faham fatalisme.
2. India-Pakistan
Pada pembaharuan dunia Islam di India Pakistan ini antara lain kita kenal dengan:Gerakan Mujahidin, yang diketuskan oleh Syah Waliyullah (abad ke-18 M), dan selanjutnya diteruskan oleh anaknya Syah Abdul Aziz (1746-1823). Di bawah pimpinan Mawlana Muhammad Qasim Nanantawi dan Mawlana Muhammad Ishaq (cucu Syah Abdul Aziz) pada tahun 1857 mendirikan sebuah perguruan tinggi agama dengan nama DarulUlum Deoband. Dari sinilah lahir ulama-ulama terkemuka India. Gerakan ini diteruskan oleh Maulvi Abdullah (w. 1902) anak dari seorang mujahid bersaudara yang bernama Maulvi Wilayat Ali (w. 1852) yang saudaranya bernama Maulvi Inayat Ali (w. 1858). Gerakan Mujahidin ini bertujuan untuk membersihkan dan memurnikan kembali dasar-dasar keyakinan umat Islam India.
Selain gerakan Mujahidin ad juga pembaharu terkenal di India yaitu Sayyid Ahmad Khan (1817-1898). Adapun usahanya dalam pembaharuan ialah ia mencoba untuk endamaikan antara Inggris dan India, karena di dalam idenya timbul suatu faedah bilaman kedua negara ini dapat berdamai, Inggris ketika itu telah maju dalam berbagai bidang, sedangkan India jauh ketinggalan. Ternyata usahanya itu berhasil dan sangat memberikan manfaat kepadaumat Islam di India. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa pendidikanlah satu-satuanya jalan bagi umat Islam India untuk mencapai kemajuan. Dan dalam ide politiknya terlihat pula bahwa umat Islam India tidak dapat bersatu dengan India Hindu yang mayoritas dalam satu negara. Dan akhirnya lahirlah ide Pakistan yang muncul kemudian di abad ke-20.
Disamping itu juga ada gerakan pembaharu yang disebut dengan gerakan Muballigh. Gerakan ini merupakan tindak lanjut dari Dir Sayyid Ahmad Khan, yang berpusatdi sekolah M.A.O.C. pada tahun 1920, perguruan ini dikenal denagn nama UniversitasIslam Aligrah. Dan pemimpinnnya adalah Sayyid Mahdi Ali yang dikenal denagn Nawab Muhsin Al-Mulk 9 1837-1907). Gerakan ini menentang taklid yangmeruapakn tradisi dari ulama klasik dan mengadakan ijtihad baru. Dan bersikap dalam memberantas taklid jauh lebih lembut dari yang dilakukan Sayyid Ahmad Khan. Dan gerakan ini berusaha mengambil daerah yang terpisah, agar kehidupan muslim India yang minoritas ini dapat hidup dengan layak, mereka membentuk delegasi umat Islam pada tahun 1906, dan usulan mereka tersebut diterima. Begitu juga gerakan yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal (1876-1938), seorang penyair dan filosof, yang menimbulkan faham dinamisme di kalangan umat Islam dan menunjukkan jalan yang harus yang mereka tempuh untuk masa depan agar kehidupan mereka yang minoritas itu dapat hidup dengan layak, sehingga ia mengemukakan ide untuk berdirinya sebuah negara Islam India yang disebutdenagn Pakistan. Tindakan ini diteruskan oleh Muhammad Ali Jinnah yang berhasil mendirikan wujud negara Pakistan dan diakui oleh negara lain pada 15 Agustus 1947 dan beliau dikenal sebagai Qaidul ‘Azham (pemimpin besar).
3.Indonesia
Kebijakan-kebijakan di bidang Pendidikan Islam oleh Pemerintah harus di baca dalam konteks modernisasi.Pemerintah tidak hanya berusaha memasukkan ilmu pengetahuan ke dalam kurikulum madrasah, lebih dari itu juga berusaha mengintegrasikan madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional.Usaha-usaha modernisasi madrasah sudah di lakukan oleh para pemikir pembaharu di masa lampau.Di Minangkabau misalnya, pada tahun 1907 Abdullah Ahmad mendirikan Sekolah Adabiyah.Pada tahun 1915 lembaga ini mengalami transformasi menjadi HIS Adabiyah yang merupakan transformasi pendidikan tradisional menjadi lembaga pendidikan Islam Modern pertama di Nusantara.Muhammadiyah sebagai organisasi sosial Islam yang bercorak modern bahkan tidak menyebut lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya dengan Madrasah, bahkan mereka menyebutnya sekolah.
Perubahan demi perubahan yang dilakukan pemerintah melalui peraturan-peraturan dan juga undang-undang.Perubahan eksistensi pendidikan setelah dikeluarkannya SKB Tiga Menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1975 dan Nomor 36 Tahun 1975 tanggal 24 Maret 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.Melalui SKB Tiga Menteri tersebut maka kurikulum madrasah tidak lagi 100 % agama, tetapi berubah menjadi 70 % untuk mata pelajaran umum dan 30 % untuk mata pelajaran agama.Ijazah Madrasah sama nilainya dengan ijazah sekolah umum sesuai dengan tingkatannya.Dengan demikian, tamatan madrasah bisa melanjutkan ke sekolah umum ataupun sebaliknya tamatan sekolah umum mempunyai kesempatan untuk melanjutkan ke Madrasah.Maka dengan adanya SKB Tiga Menteri ini dapat dipandang sebagai tonggak integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan Nasional.
SKB Tiga Menteri itu merupakan suatu kompromi dan langkah awal dari pengintegrasian sistem pendidikan Nasional, yang telah belasan tahun kemudian akhirnya terwujud dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional yang antara lain menetapkan bahwa Madrasah merupakan sekolah umum yang bercirikan Islam yang berada di bawah pembinaan dan pengawasan Departemen Agama (Kementerian Agama).Untuk mempersatukan persepsi di bidang pendidikan ini, akhirnya Pemerintah juga telah mengundangkan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
F. Penutup.
Hubungan antara Islam dengan negara-negara Barat, seperti penajajahan, delegasi ilmiah atau hubungan ekonomi, telah memberikan dorongan positif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang menghasilkan gerakan pembaharuan dalam Islam.
Pembaharuan yang terjadi dalam Islam mencakup masalah-masalah sosial dalam berbagai aspek seperti hukum, pendidikan, pemikiran, moral, ,politik dan sebagainya.
Arus utam pembaharuan dalam Islam terjadi di Mesir, India, Iran dan Pakistan yang selanjutnya terus mendorong para tokoh pemikir muslim di negara-negara lain seperti di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Maududi, Abul. Khilafah dan Kerajaan, terj. Jakarta: Mizan, 1996.
Amstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan, terj. Jakarta: Citra Pustaka, 2001.
Asari, Hasan, Menguak Sejarah Mencari Ibrah : Risalah Sejarah Sosial-Intlektual Muslim Klasik, Bandung : citapustaka Media, 2006
Esposito, Jhon L. Islam dan Politik, terj. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang : PT.Karya Toha Putra, 1994
Suratno, Wahid, Abbas N, Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam, Solo : PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2008
K. Ali. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami Jakarta : III T Indonesia, 2002.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,.Bulan Bintang, Jakarta, 1994, cet 10.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, sejarah pemikiran dan gerakan Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar