RUNNING TEXT
Jumat, 10 Maret 2017
PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM STUDI ISLAM
0leh : Dr. Irwandi Sihombing, S.Ag, S.PdI, MA
A. Pendahuluan
Dalam rangka memahami agama banyak cara atau pendekatan yang dapat dilakukan salah satunya dengan cara Pendekatan Antropologis, dimana melihat wujud dan praktek keagamaannya yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Sebagai makhluk yang hidup di banyak tempat, maka untuk mengetahui asal dari manusia tersebut maka timbullah Ilmu Antropolgi. Antropologi adalah suatu ilmu yang membahas tentang ciri-ciri manusia. Pendekatan ini nampaknya sangat akrab dengan masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menafsirkan serta berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Pendekatan mengutamakan pengamatan langsung (observasi langsung) bahkan dia bersifat pastisiatif.
Sasaran Pendekatan Antropologi adalah manusia dari segi budayanya yang sangat kompleks. Dalam penelitian Antropologi agama adanya ditemukan hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Juga orang yang kurang mampu dari golongan orang miskin sehingga dengan adanya Pendekatan Atropologis tersebut kita bisa melihat bahwa agama itu berkorelasi dengan perkembangan ekonomi suatu masyarakat yang dilakukan degan cara mengubah pendangan keagamaan. Adanya Pendekatan Antropologis sangat diperlukan dalam agama, sebab hanya agama yang bisa menjelaskan dengan tuntas dan di dalam ajaran Islam terdapat juga informasi-informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan Antropologis.
Dengan demikian untuk memahami agama Islam, maka dalam makalah ini penulis telah memaparkannya dalam bentuk makalah dengan judul Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam yang akan membahas tentang Pengertian Antropologi, antropologi agama, aplikasi pendekatan antropologis dalam mengkaji Islam dan umat Islam, penulis dan karya utama dalam kajian antropologis tentang Islam, gagasan Islamisasi antropologi, signifikasi dan kontribusi pendekatan antropologis dalam studi Islam. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita mengenai Islam.
B. Pengertian Antropologi
Secara etimologis, Antropologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua penggalan kata yaitu “antropos “ artinya manusia dan “logy” atau logos berarti ilmu, jadi antropologi berarti ilmu tentang manusia,. Antropologi sebagai ilmu yang masih muda (timbul antara Perang Dunia I dan II) mempunyai perhatian terhadap semua cabang pengetahuan yang berhubungan dengan manusia, yaitu manusia sebagai gejala biologis dan manusia sebagai makhluk sosial dan budaya. Antropologi dapat dibagi menjadi dua bagian: Antropologi Fisik dan Antropologi Kebudayaan. Antropologi Fisik berhubungan dengan ciri-ciri fisik dari berbagai manusia di dunia (mempelajari bermacam-macam ras, warna kulit, bentuk dan warna rambut, besar dan berat otak, ciri-ciri fisik lainnya, dan juga sifat-sifat intelektual dan emosional dari suatu kelompok manusia).
Antropologi Kebudayaan berhubungan dengan berbagai kebudayaan kepribadian yang terdapat dalam tiap kebudayaan, pengaruh-pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian seseorang dan masyarakat. Untuk mengetahui suatu individu tidak mungkin kita dapat melepaskan diri dari usaha bagaimana mengetahui kebudayaan masyarakat tempat individu itu hidup dan dibesarkan. Sebaliknya untuk mengetahui kebudayan tertentu sering kali diperlukan untuk mengerti dan mengetahui bagaimana orang-orang/individu-individu dalam masyarakat itu mengalami dan merasakannya.
Kebudayaan misalnya, ia merupakan kebiasaan yang dianggap baik oleh manusia yang dilakoni secara terus menerus dari satu generasi kegenerasi berikutnya.Sedangkan kepercayaan dianggap sebagai prilaku untuk mengakui eksistensi kekuatan yang mengendalikan alam semesta dalam bentuk ritual keagamaan yang juga diwariskan secara turun temurun.
Secara ilmiah, pengakuan terhadap disiplin ilmu tergolong masih terbilang baru.Akan tetapi, hal tersebut jika diteliti dari segi pelaksanaannya secara sederhana, tidak terbantahkan bahwa kajian antropologi sudah ada jauh lebih awal dibandingkan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya.
Dalam sebuah pernyataan dikemukakan bahwa ketidaktahuan cabang ilmu antropologi selama ini adalah dikarenakan keadaannya yang diremas-remas dalam kajian ilmu sosial selama ini.
Dari pengertian antropologi diatas, para pakar ilmu-ilmu social memberikan beragam pengertian antropologi secara istilah dengan membuat ruang lingkup keantropologian semakin terlihat dan terpetakan, sehingga tidak mencampuradukkan dengan materi pembahasan dari ilmu-ilmu social lainnya kecuali dalam hal-hal yang memang ada kesinkronan pembahasannya.
Ruth Benedict mengatakan bahwa, antropologi adalah ilmu yang mempelajari semua hal tentang manusia dan merupakan tanggungjawab antropologi untuk menjelaskan semua cerita tentang manusia dari segi baik maupun dari segi buruknya.Antropologi tidak hanya terpaku pada sebagian kelompok orang tetapi mencakup semua manusia, bukan hanya dari satu aspek saja melainkan dari segala aspek.
Antropologi dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayannya pada masa lampau. Edward Taylor sebagaimana dijelaskan dalam buku Metode Studi Islam karangan Prof Dr. Baharuddin dan Buyung Ali Sihombing mendefinisikan Antropologi adalah setiap hasil perilaku yang ada pada gilirannya mengakumulasikan serta mentransmisikan pengetahuannya, oleh karena kemampuan yang khusus semua itu, maka dia dapat menyusun kembali lingkungan alam alamiyahnya.
Fungsi Antropologi untuk Indonesia metode itu bahkan bermanfaat bagi Sosiologi yang dalam Sosiologi Indonesia khususnya tidak diterapkan, lebih dari satu abad yang lalu, kalau Sosiologi mempelajari gejala-gejala dalam masyarakat Eropa, yaitu ketika ada seorang ahli Sosiologi mangamati adanya konsistensi gejala bunuh diri di beberapa negara Eropa.
Kemudian dalam literatur Antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu Cultur, Civilization, dan kebudayaan. Term Kultur berasal dari bahasa Latin, yaitu dari kata cultura (kata kerja colo, colere). Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan, atau mengolah (S. Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soejono Soekanto (1993: 188) mengungkapkan hal yang sama. Namun ia menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengolah atau mengerjakan sebagai arti kultur adalah mengolah tanah atau bertani. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Istilah yang kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah sivilisasi. Sivilisasi (Civilization) berasal dari kata Latin, yaitu Civis. Arti kata Civis adalah warga negara (Civitas: Negara kota, dan Civitas = Kewarganegaraan). Oleh karena itu, S. Takdir Ali Syahbana (1986: 206) menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih luas. Rasa yang meliputi manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang perlu untuk mengatur maslah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas. Agama, ideologi, kebathinan dan kesanlah yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (Spiritual atau Imaterial Culture) semua karya rasa cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat, (Soerjono soekanto, 1993: 189-190).
Pada umumnya, hasil field note research di lapangan dari berbagai kawasan, para antropolog hamper menyepakati bahwa agama melibatkan enam dimensi : 1.perform certain activities (ritual), 2.believe certain things (kepercayaan, dogma), 3. invest authority in certain personalities (leadership ; kepemimpinan), 4. hallow certain text (kitab suci, sacred book), 5. telling various stories (sejarah dan institusi) dan 6. legitimate morality (moralitas).Ciri paling menonjol dari study agama yang membedakannya dari study social dan budaya adalah keterkaitan keenam dimensi tersebut dengan keyakinan kuat dari para penganutnya tentang adanya apa yang disebut dengan “ non-falsifiable postulate alternate reality “(realitas tinggi yang tidak dapat difalsifikasi). Keenam dimensi keberagaman tersebut jika disandarkan pada agama Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut : 1.Ibadah, 2.Aqidah, 3.Nabi atau Rasul, 4.al-Quran dan al-Hadist 5. al-Tarikh atau al-Sirah dan 6. al-Ahlaq.Keenam dimensi tersebut lalu dikaitkan dengan Allah (yang bersifat non-falsifiable alternate reality) juga.
C. Antropologi Agama
Anthony F.C. Wallace sebagaimana dikutif oleh Baharuddin dan Buyung Ali Sihombing dalam buku mereka mendefenisikan agama sebagai perangkat upacara, yang diberi rasionalisasi mitos dan yang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai ataupun untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan pada manusia atau alam.
Defenisi di atas mengandung suatu pengakuan kalau tidak dapat mengatasi masalah serius yang menimbulkan kegelisahan, manusia berusaha mengatasi masalahnya dengan kekuatan supernatural. Untuk itu kemudian digunakanlah upacara keagamaan yang menurut Wallace dipandang sebagai gejala agama yang utama atau ‘agama sebagai perbuatan’ (religion in action). Agama dalam hal ini dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku, yang oleh manusia digunakan untuk mengendalikan aspek alam yang tidak mampu dikendalikannya sendiri. Karena dalam semua kebudayaan yang dikenal tidak ada sesuatu yang sungguh-sungguh dengan pasti mampu mengendalikan alam semesta, kecuali kekuatan supernatural yang dipahami dala agama. Maka dalam hal ini agama merupakan bagian dari semua kebudayaan.
Emile Durkheim sebagai salah seorang antropolog abad ke-19 memandang bahwa fungsi agama sebagai penguat solidaritas social, dia menemukan hakikat agama yang pada fungsinya sebagai sumber dan pembentuk solidaritas mekanis.Ia berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang di butuhkan oleh masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu kesatuan melalui pembentukan system kepercayaan dan ritus melalui simbol-simbol yang sifatnya suci.Agama mengikat orang-orang kedalam berbagai kelompok masyarakat yang terikat kesamaan.
Dalam kaca mata antropologi agama, agama adalah “ ideas and practices that postulate reality beyod that which is immediately available to the senses” (Agama adalah sekumpulan ide-ide atau pemikiran dan seperangkat tindakan konkrit sehari-hari yang didasarkan atas postulasi atau keyakinan kuat adanya realitas yang lebih tinggi berada di luar alam materi yang biasa dapat di jangkau langsung dalam kehidupan materi).Apa yang disebut agama dalam prakteknya memang sangat berbeda dari satu masyarakat pemeluk agama tertentu kemasyarakat pemeluk agama yang lain, baik yang menyangkut system kepercayaan yang diyakini bersama, tingkat praktek keagamaan yang dapat melibatkan emosi para penganutnya serta peran social yang dimainkannya. Posisi pentingnya agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama begitu penting bagi eksistensi manusia.Walaupun harus di sadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi fenomena global masyarakat.Dua sisi kajian ini usaha untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama, sesungguhnya menggambarkan betapa kajian agama adalah sebagai persoalan universal manusia.Ada yang menekankan pentingnya sisi ketuhanan (deities atau spirits), ada yang lebih menekankan kekuatan impersonal (impersonal forces) yang dapat menembus dunia alam dan social seperti yang dijumpai di agama-agama di dunia Timur atau bahkan ada yang tidak memfokuskan pada system kepercayaan sama sekali tetapi lebih mementingkan ritual.
Durkheim membedakan antara solidaritas mekanis dengan solidaritas organis, dengan konsep ini ia membedakan wujud masyarakat modern dan masyarakat tradisional.Ide tentang masyarakat adalah jiwa dari agama.Berangkat dari kajiannya tentang faham totemisme masyarakat primitive di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi pemisahan antara “ yang suci” dan “ yang profane”, permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa dan macam-macam bentuk ritual.
Untuk dapat hidup dan berkembang serta lestari dalam masyarakat, agama haruslah menjadi kebudayaan bagi masyarakat. Karena setiap masyarakat memiliki kebuydaan yang digunakan sebagai pedoman untuk memanfaatkan lingkungan guna kelangsungan hidupnya yang mencakup kebutuhan biologi, kebutuhan sosial, dan kebutuhan adab yang yang integratif.
Dalam hubungan agama dengan kebudayaan, dapat dijelaskan melalui fungsi agama sebagai pedoman moral dan etika yang terwujud sebagai nilai-nilai budaya yang terintegrasi dan menjiwai setiap upaya pemenuhan kebutuhan biologi dan sosial dari warga masyarakatnya. Dengan demikian apabila agama dilihat dan diperlukan sebagai kebudayaan, yaitu sebagai nilai-nilai budaya dari masyarakat yang dikaji, agama diperlakukan sebagai sebuah pedoman yang diyakini kebenarannya oleh warga masyarakat yang bersangkutan, serta pedoman bagi kehidupan tersebut dilihat sebagai sesuatu yang sakral dengan sanksi-sanksi gaib sesuai dengan aturan dan peraturan keagamaan yang diyakini.
D. Aplikasi Pendekatan Antropologis dalam mengkaji Islam dan umat Islam
Karya-karya para ahli Antropologi sebagian besar berkenaan dengan Skripsi dan analisis mendalam mengenal suatu kebudayaan tertentu, dan studi tersebut bertujuan untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang berfaedah.
Studi-studi yang tingkat analisisnya bertujuan untuk pembentukan teori. Perkembangan Antroplogi sebagai ilmu pengetahuan memang baru berkembang pada lima puluh tahun lamanya. Kalau dulunya pendekatan dalam Antropologi didominasi oleh Pendekatan Hilistik. Sekarangpun masih demikian halnya dan perkembangan dari Antroplogi yang lainnya adalah penekanan terhadap pembentukan teori yang bersifat umum dan berlaku untk menjelaskan masalah-masalah yang melampaui batas suatu kebudayaan. Sifat nomotetik itu bisa dibuat atas dasar Pendekatan Holistik maupun Pendekatan Urulisisme. Studi agama dengan Pendekatan Antropologi menganggap agama sebagai sistem kebudayaan.
Karya Clifford Gerrtz mengenal agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan yang lebih meresap dan ebih meluas. Gerrtz menyatakan bahwa agama adalah suatu Islam yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia dengan cara mempermulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan sesuatu syarat tertentu yang mencerminkan kenyataan sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara unik dan nyata. Walaupun agama tidak sama tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan teori agama. Juga merupakan pedoman bagi ketetapan kebudayaan, selanjutnya Gerrtz menyatakan kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsep-konsep diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan dan megembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhdap kehidupan.
Dengan demikian jika menurut Gerrtz kebudayaan merupakan “Seperangkat teks-teks simbolik’ maka kesanggupan manusia dengan membaca teks tersebut dipedomani oleh dasar-dasar struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif dan syarat muatan emosi dan perasaan.
Melalui Pendekatan Antropologis ini juga dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi. Sigmun Frued (1866-1939) pernah mengartikan agama dengan Oedipus Komlek yakni pengenalan infantil sorang anak yang tidak berdaya di hadapan kekuatan dan kekuasaan bapaknya. Agama dinilainya sebagai neurosis dalam psikoanalisisnya, dia mengungkapkan hubungan antara Id, Ego dan Superego. Pendekatan Antropologis sangat diperlukan adanya sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui Pendekatan Antropologis dalam Alqur’an sebagai sumber ajaran utama Islam.
E. Penulis dan Karya Utama dalam Kajian Antropologis tentang Islam
Menyimak tulisan-tulisan yang telah dilakukan Antropologi dalam hubungannya dengan memahami agama secara umum dapat disebut misalnya William A. Lessa dan Evon 2. Vogt, dalam bukunya Reader in Comparative Religion: An Antropological Approach (New York Harper dan Row, 1972). Buku ini merupakan kumpulan artikel yang membahas sifat universal agama, karena memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang mendalam dan tidak dapat dihindari. Buku ini juga membahas agama sebagai suatu sistem etika, suatu jawaban terhadap proses alamiah, dan jawaban ketidak puasan pengalaman.
Selanjutnya Vronislaw Malinoswski dalam bukunya Magic Science and Religion, and Other Essays, (Garden City, N.Y. Doebleday, 1954). Buku ini menyajikan suatu diskusi tentang bangsa-bangsa primitif tertentu (orang-orang kepulauan Trobiland) sebagai ilustrasi pengetahuan konseptual dan teoritis umat manusia. Penulisnya membahas topik-topik seperti agama, kehidupan, kematian, sifat kultur primitif, magic, kepercayaan dan mitos.
Para ahli-ahli Imu Sosial, khususnya Sosiologi dan Antropologi, telah mencoba untuk mengkaji agama sesuai dengan pendekatannya masing-masing. Kajian-kajian tersebut dilakukan dalam upaya memahami makna dan hakikat agama itu sendiri bagi kehidupan manusia. Diantara usaha yang telah dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk dapat memahami hakekat agama bagi kehidupan manusia sejumlah tulisan telah diterbitkan, antara lain Geertz (1966), Lessa dan Vogt (1972), dan Roberston (1972), kajian-kajian mereka dapat digunakan sebagai acuan bagi pendekatan dalam penelitian agama yang bercorak empiris. Adapun tulisan-tulisan yang dihasilkan dari kajian-kajian empirik tersebut, antara lain adalah oleh Geertz (1963 – 1971), Suparlan (1995), dan Woodward (1989).
Pendekatan yang digunakan para ahli Antropologi dalam meneliti wacana keagamaan adalah pendekatan kebudayaan. Yaitu melihat agama sebagai kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan tersebut terwujud dalam kehidupan masyarakat. Kajian Geertz (1963) mengenai abangan, santri, dan priyayi adalah kajian yang mengenai variasi-variasi keyakinan-keyakinan keagamaan dalam kehidupan masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukannya kajian mengenai Teologi agama, begitu juga. Begitu juga kajian Suparlan mengenai orang Jawa di Suriname (1955) merupakan variasi keyakinan agama yang bersifat tradiosional (bersembahyang menghadap ke Barat) dan modern (bersembahyang menghadap ke arah Timur).
F.Gagasan Islamisasi Antropologi
Antropologi mengkaji tentang manusia serta budayanya. Ilmu ini bertujuan untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk, baik di masa-masa lampau maupun di masa sekarang ini, baik sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya.
Di dalam menghadapi Antropologi sebagai suatu tugas yang menyenangkan, maka satu pembagian kerja dan spesialisasi itu menjadi keharusan. Menurut pandangan yang demikian ini terdapat dua pembagian penting di dalam lapangan Antropologi Kultural. Antropologi Fisikal menganggap aspek biologis manusia, baik dalam segi evaluasinya, variasinya serta adaftasinya. Antropologi Kultural adalah mengkaji manusia, baik dalam sejarahnya, strukturnya serta fungsinya. Arkeologi bagian tambahan dan Antropologi Kultural terutama mebicarakan kultur yang sudah tidak ada lagi serta tidak dijumpai lagi catatan tertulis.
Salah satu prinsip metode Antropologi adalah bahwa seluruh fenomena makhluk baik yang bersifat biologis, historis, linguistik ataupun budaya itu harus dibawa ke dalam kaitannya antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut para ahli Antropologi cara ini disebut dengan Pendekatan Holistik. Inti sari konsep ini adalah bahwa tingkah laku manusia diperoleh dengan usaha dan dipelajari dahulu. Tingkah ini tidak bersifat instingtif, tidak diwariskan melalui kelahiran. Tingkah laku manusia adalah merupakan hasil komunikasi dari satu generasi ke generasi lain.
M. Dawam Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Baharuddin dan Buyung Ali Sihombing mengatkaan kemungkinan melakukan sintesis pendekatan historis, sosiologis dan antropologis dalam mengkaji fenomena keagamaan, memunculkan beberapa prospek, yaitu:
1. Sintesis ini diharapkan mampu untuk lebih bisa memahami fenomena keagamaan yang menjadi bagian dari kehidupan kaum muslimin sehari-hari.
2. Pemahaman yang lebih tepat mengenai ajaran agama dengan pendekatan ilmiah diharapkan dapat membangkitkan reaktualisasi ajaran-ajaran Islam, sehingga memberi sumbangan terhadap pencapaian kebahagiaan umat manusia atau lebih praktis lagi memberi sumbangan terhadap proses pembangunan yang lebih manusiawi.
3. Setidaknya dengan mendekatkan fungsi dan tugas agama di satu pihak dan ilmu pengetahuan di pihak lain, umat Islam dapat lebih memanfaatkan ilmu pengetahuan tersebut untuk kemudian mampu memperbaiki kondisi umat Islam ke arah yang lebih bermanfaat dan bermartabat.
Gagasan Rahardjo untuk melakukan Islamisasi pada disiplin antropologi dikemukakannya pada tiga tahap, yaitu:
1. Teori-teori antropologi itu harus dikembangkan melalui ajaran Islam itu sendiri.
2. Untuk mampu merumuskan teori-teori dasar tersebut sangat dibutuhkan ketajaman pandangan dan daya kritis yang tinggi.
3. Perlunya membangun suatu “body of knowledge” yang dibentuk melalui pengalaman teori dan praktek.
Kemudian tantangan manusia ke depan adalah bagaimana ia bisa mengangkat dirinya sehingga ia mampu mengatasi batasan-batasan kultural dan memperkecil kemungkinan melakukan kesalahan budaya. Dengan fitrah dan keimanannya, manusia mampu meningkatkan rasa tanggung jawab yang tajam dan tinggi untuk memikul beban suci kehidupan bersama dalam jalinan cinta kasih (silaturahmi) antara manusia. Rasa tanggung jawab pribadi, yang melandasi kesadaran sosial yang mendalam itulah nilai luhur sejarah manusia yang perlu ditegakkan dalam Islamisasi disiplin antropologi.
G. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam
Pendekatan antropologi dalam studi Islam terutama kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan suatu masyarakat dan para warganya. Kegunaan selanjutnya adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh warga masyaraka tersebut sesuai dengan ajaran yang benar, tanpa menimbulkan gejolak dan pertentangan antar sesama warga masyarakat. Seterusnya dengan pendekatan antropologi ini diharapkan umat Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya lokal dengan ajaran agama itu sendiri.
Paling tidak terdapat beberapa kontribusi pendekatan antropologi dalam studi Islam, dalam hal ini patut dicatat beberapa hal, antara lain:
1. Melalui pendekatan ini akan dapat memberikan sumbangan kepada penelitian historis tentang kehidupan masyarakat Islam.
2. Pendekatan ini dapat memberikan gambaran tentang kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut tingkat keberagamaan, etos kerja, ekonomi dan sebagainya dari masyarakat muslim.
3. Melalui pendekatan antropologi dapat memberikan pemahaman yang universal dari esensi masyarakat muslim yang berbudaya secara integral dan komprehensif.
H.Penutup
Demikian pemaparan yang telah diuraikan oleh penulis di atas, maka dari isi makalah ini penulis dapa menarik kesimpulan bahwa:
1. Antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang ciri-ciri fisik, ras, warna kulit, warna rambut, adat-istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau.
2. Aspek kebudayaannya dalam agama Islam yaitu untuk kepentingan dan keperluan manusia di dunia yang sementara ini.
3. Pendekatan Antropologi dalam pengkajian Islam itu di dominasi oleh pendekatan Holistik. Dan pendekatan Antropologis dalam studi Islam bersifat empiris dan memandang agama sebagai fnomena sosial yang dapat diamati secara langsung dalam kehidupan nyata.
4. Pendekatan yang digunakan para ahli Antropologi dalam meneliti wacana keagamaan adalah pendekatan kebudayaan.
5.Tanpa kebudayaan masyarakat tidak mungkin terbentuk, sebaliknya tanpa kebudayaan Islam, masyarakatpun tidak akan terbentuk.
6.Pendekatan antropologi dalam studi Islam terutama kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan suatu masyarakat dan para warganya. Kegunaan selanjutnya adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan-keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh warga masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar, tanpa menimbulkan gejolak dan pertentangan antar sesama warga masyarakat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Ali, Sayuthi. Metode Penelitian Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Baharuddin dan Buyung Ali Sihombing. Metode Studi Islam, Bandung: Citapustaka Media, 2005.
Bowen, R.Jhon, Religion in Practice : An Approach to the Antropology of Religion, Boston : Allyn and Bacon, 2002
Daradjat, Zakiah dkk. Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
Hakm, Atang Abd. dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
Koentjraningrat. Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi II, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
Koentjranigrat, Kebudayaan, mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia, 1994
Mubarok, Jaih dan Hakim A.Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1999.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 2001.
Praja, Juhaya S. Filsafat Metotodologi Ilmu dalam Islam, Jakarta: Teraju, 2002.
Purwanto, M. Ngalim. Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Ruth, Benedict, Patterns of Culture, Boston : Houghton Mifflin co, 1980
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar